Eva fauziah

Muqoddimah

Teropong kalbu; meneropong raga dan jiwa, nun di kedalaman raga kalbu memimpin jiwa. Meneropong kalbu memberi secercah cahaya.

Eva Fauziah

Oase Peradaban

Seorang ibu adalah oase bagi kerontangnya peradaban. Ia bukan sekadar fatamorgana. Ibu, di telapak kakimu kunci surga di hamparkan. Jangan sekali-kali kau tendang jauh karena kunci itu akan hilang selamanya.

taro link gambar di sene
Selamat datang di blog saya, hubungi saya melalui e-mail jika ingin mendapatkan info. Terima kasih, maaf saya hanya ingin berbagi dengan tetap memegang etika penulisan

Senin, 30 Januari 2012

Kritik Ekspresif atas sebuah Cerpen

Judul Cerpen: Reuni
Pengarang:     Jujur Prananto

Pendahuluan
        Menurut Abrams (1958: 22) pendekatan ekspresif  menempatkan karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan pengarang. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada penelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham struktur genetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang secara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.

Sinopsis Cerpen
       Kemal berada di sebuah pekuburan di Bantul mencari makam eyang kakungnya karena amanat ibunya untuk berziarah sekaligus merenovasi kuburan eyangnya itu yang sudah amblas pondasinya. Secara tidak sengaja ia bertemu dengan Oom dan Tante Pramono di depan sebuah makam rusak yang diperkirakan makam eyangnya itu. Mereka  memiliki maksud yang sama dan juga kesulitan yang sama karena sudah empat belas tahun tidak berziarah.
     Pertemuan yang sangat mengejutkan karena mereka sama-sama tidak saling mengenal padahal tali persaudaraan mereka sangat dekat, Tante Pramono adalah salah satu saudara sepupu ibunya. Lebih mengejutkan lagi ternyata juru kunci (penjaga) makam pun ternyata saudara sepupu ibunya juga. Terjadilah reuni kecil di depan sebuah makam leluhur yang terlupakan.
         Bertahun kemudian Kemal beserta anak dan istrinya bertemu kembali dengan Oom dan Tante Pramono beserta seorang cucunya di sebuah plaza terkemuka di Jakarta. Dalam reuni kecil itu terungkap hal yang mengejutkan; ketika ibu Kemal meninggal (setahun yang lalu) bertepatan dengan lewatnya Oom dan Tante Pramono yang melihat bendera kuning di depan rumah keluarga Kemal tetapi mereka terus saja melaju dengan alasan terburu-buru karena suatu hal yang tidak jelas. Reuni kedua itu diakhiri dengan saling memberi kartu nama.
Pembahasan
         
        JujurPrananto mengakui dalam sebuah wawancara bahwa cerpen yang ditulisnya senantiasa terinspirasi kehidupan nyata dan keseharian yang begitu dekat dengan kita, cerpennya ditulis melalui pengendapan dan kreativitasnya. 

       Kemal (sang tokoh) tengah berada di areal pekuburan di perkampungan Bantul dengan pakaian stelan lengkap berdasi tentu menarik perhatian peziarah lain yang merasa aneh dengan penampilan Kemal ditambah suara kerasnya saat berbicara dengan telepon genggam di tangannya. Bukankah pekuburan tempat yang hening, orang-orang yang datang ke sana bertujuan mendoakan keluarganya atau merenungkan kematian yang bakal menjemputnya juga suatu saat, tetapi tidak bagi Kemal. 
       Bagi orang-orang seperti Kemal, berziarah adalah kegiatan yang sangat tidak penting bahkan menjadi sesuatu yang sangat mengherankan. Sebab bagi mereka urusan materi dan duniawi lebih penting dari apapun. Simak saja reaksi lawan bicara Kemal di telepon genggamnya.
“Bantul mana?”
“Yogya.”
“Lho, Pak Firman kan sudah kita kirim ke sana?”
“Bukan urusan proyek. Aku berziarah.”
“My God...! Berzirah???”
“Memang kenapa?”
Dari gagang telepon terdengar tawa berkepanjangan. “Tidak apa-apa. Asal jangan lupa undangan makan di Mercantile Club.”
“Nanti malam aku sudah di Jakarta lagi.”

Lihatlah dengan gaya “nyelenehnya” Jujur memplesetkan sikap Kemal yang dengan serampangan memutuskan letak kuburan eyangnya yang harus segera direnovasi. Meskipun Kemal merasa ragu tetapi ia memutuskan juga berdasarkan pertimbangannya sendiri, yang penting bagi Kemal “kuburan yang paling layak disebut rusak.” Dan intuisinya yang serampangan itu ternyata salah.
Rokok Kemal terlepas dari mulutnya. Tante Pramono spontan menarik tangannya yang siap menabur bunga. “Lho! Bukan ini?”

Tampak Jujur sangat piawai bermain dengan kata dan bahasa sehingga menciptakan nuansa satire yang kental dan kadang mengejutkan. Simaklah beberapa nuansa yang diciptakan pengarang berikut ini.
.... saya ingat betul waktu salah satu putranya ditahan polisi gara-gara ikut tawuran.”
“Wah, itu sudah lama sekali, Oom. Sepuluh tahun lebih.”
“Iya, benar. Waktu itu saya yang diminta tolong Papa mengurus ke kantor polisi. Habis, Papa malah tidak bisa pergi ke mana-mana karena darah tingginya mendadak kumat. Memang nakal betul putranya itu.”
“Itu saya Oom...”
“Ooo... maaf, maaf.”
.....
Kemal terperanjat. Tante Pramono berseru keras, “Jadi...?”
“Benar, saya Atmojo Miring. Memang begitulah saudara-saudara lain menjuluki saya, karena dulu pikiran saya memang pernah miring, alias tidak waras. Tapi atas kuasa Gusti Allah Yang Maha Kuasa jugalah pada akhirnya saya bisa sembuh. Dan berkat kemurahan-Nya pula saya masih diberi kekuatan menjadi penjaga makam. Sekali lagi mohon dimaafkan kalau keliru. Tetapi secara samar-samar pula tadi saya mendengar bahwa Nak Mas ini adalah putra Mbakyu Westi?”
Kemal tergagap, “Ya, ya ....”
Dalam paparan latar suasana tersebut tampaknya satu-satunya orang yang tidak “miring” adalah Atmojo Miring yang masih tetap mengenali silsilah keluarganya dan nampaknya Kemal, Tante, dan Oom Pramono adalah orang-orang yang mulai “miring” karena sama sekali tidak ingat lagi siapa saudara dan silsilah keluarganya. “Kemiringan” mereka itu diperkental lagi pada akhir cerita. Cerita diakhiri dengan terjadinya reuni kedua antara Kemal dengan Oom dan Tante Pramono di sebuah plaza di Jakarta, yang tetap kental dengan ironi yang tidak terduga.

 Penutup
Cerpen Reuni menyorot tentang manusia-manusia kota yang cenderung lupa dengan kerabat dekatnya dan lebih memilih untuk membutakan hati dan tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Gaya “lupa dan melupakaannya” Jujur dalam cerpen tersebut terasa menggelitik, unik, dan tak terduga. Ironi dan satire yang dipaparkan dikemas dengan bahasa yang cermat sehingga tiap kata dan simbol yang muncul selalu mewakili nuansa “nyeleneh” yang terkadang terasa “menggigit” bagaimana mungkin seseorang yang melewati rumah saudaranya yang tengah berduka (ditandai simbol bendera kuning) tidak mampir padahal mereka mengerti apa artinya itu, tetapi begitulah Jujur Prananto; unik, menggelitik, dan penuh kejutan.


(Disarikan dari makalah "Ironisme Jujur Prananto dalam Cerpen Reuni" sebuah kritik ekspresif yang ditulis oleh Eva Fauziah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar