Aku menyukai traveling. Pergi dari hingar-bingarnya kerja yang tak pernah habis, untuk sejenak bersahabat dengan alam dan mengagumi lukisan Sang Khalik yang tiada tertandingi. Ada satu kesamaan pada setiap jengkal langkah yang aku lalui. Dari Cirebon ke Bandung, Jakarta, Bogor, Pangandaran. Dari Cirebon ke Padang. Dari Cirebon ke Purbalingga, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Dieng. Dari Cirebon ke Bali. Dan seterusnya. Aku selalu melihat jalanan yang penuh lubang dan tambalan di sana-sini.
Belum pernah kulihat jalanan yang mulus rata, sekalipun itu bernama jalan tol. Bahkan sekaliber "Tol Pejagan" yang bertarip lumayan mahal, tetap saja penuh tambalan. Tapi entah ya, mungkin ada jalan yang bagus mulus tetapi belum aku lewati? Mudah-mudahan begitu. Atau mungkin aku saja yang tidak mengerti "seni" membangun jalan? Mudah-mudahan begitu juga.
Nuraniku tiba-tiba terusik ketika berita ambruknya jembatan Kutai Kartanegara menjadi heboh bukan main. Ditambah kemudian heboh anggaran DPR untuk pembelian kursi dari Jerman yang selangit ngit ngit harganya bahkan sekadar kalender yang dihargai ratus ribu per-eksemplar.
Menonton tayangan televisi aku jadi migren. Prasangka bermunculan; ya Allah, apakah ini sebuah pertanda? Bahwa jalanan yang penuh tambalan berbanding lurus dengan moral bangsa yang compang-camping dan penuh tambalan pula? Hhhh! Aku bergidik di depan cermin. Kubuang jauh-jauh prasangka, di dalam kalbuku yang terdalam masih ada sebuah keyakinan; selalu ada terselip berlian di tengah lumpur yang pekat menghitam.
Dan aku adalah seorang ibu juga seorang guru, dengan tanganku yang tampak rapuh tetap kugosok berlian itu, semoga bersinar dan mencerahkan peradaban. Insya Allah.... Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar