Eva fauziah

Muqoddimah

Teropong kalbu; meneropong raga dan jiwa, nun di kedalaman raga kalbu memimpin jiwa. Meneropong kalbu memberi secercah cahaya.

Eva Fauziah

Oase Peradaban

Seorang ibu adalah oase bagi kerontangnya peradaban. Ia bukan sekadar fatamorgana. Ibu, di telapak kakimu kunci surga di hamparkan. Jangan sekali-kali kau tendang jauh karena kunci itu akan hilang selamanya.

taro link gambar di sene
Selamat datang di blog saya, hubungi saya melalui e-mail jika ingin mendapatkan info. Terima kasih, maaf saya hanya ingin berbagi dengan tetap memegang etika penulisan

Selasa, 31 Januari 2012

Membaca dengan hati, ditambah dengan cerdas

          Anda pernah membaca "Laskar Pelangi"-nya Andrea Hirata? Saya sudah membaca keempat buku tetralogi itu; "Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpof". Ketika membaca buku-buku tersebut, emosi saya terhanyut. Saya berurai air mata ketika membaca bagian pendahuluan yang menampilkan kegalauan bu Muslimah menanti satu orang lagi siswa yang dapat menyelamatkan sekolah dari ancaman "ditutup" oleh kantor Pendidikan dan Kebudayaan Belitong. Juga ketika Lintang harus merelakan kecerdasannya terabaikan karena kematian ayahnya. 
         Saya dibuat tertawa terkikik-kikik ketika Andrea membuat kiasan yang tak lazim
digunakan untuk menggambarkan latar maupun karakter tokoh-tokohnya. Misalnya, ketika Arai dan Ikal berkelahi di dalam toko Sinar Harapan karena Arai membelanjakan uang celengan mereka untuk membeli terigu dll. Sementara Ikal yang tak mengerti maksud saudaranya itu tidak terima uang jerih payah mereka dibelanjakan untuk maksud yang tak jelas. Mereka berkelahi disaksikan anak perempuan pemilik toko yang histeris melihat perkelahian itu. Andrea menggambarkan sikap Mei (anak perempuan itu) sebagai "menjerit-jerit seperti burung prigantil yang dicabuti bulunya."
          Atau, ketika Ikal menggambarkan usaha keras Arai menarik perhatian Zakiah Nurmala sebagai "cinta yang setia dan rabun". Setelah membaca buku tersebut, komentar saya adalah "bukan main, penggambaran latar, karakter tokoh, dan penggunaan diksi menunjukkan kreativitas yang luar biasa". Tetapi ketika saya membaca ulasan Prof. Dr. H. Abdul Rozak, M.Pd. (beliau adalah dosen saya) di direktori website Unswagati, saya tertegun sambil berujar dalam hati; bukan main, sangat berbeda ya jika orang cerdas membaca novel dengan orang awam (maksudnya; saya) membaca novel, sudut pandangya sangat jauh berbeda. Berikut ini saya sampaikan cuplikan (hanya sedikit) dari ulasan Prof. Rozak tentang buku "Laskar Pelangi" yang saya baca.
"IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk kami. Bu Mus mendekati setiap orang tua murid di bangku panjang tadi, berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. (halaman 9)
Inilah wajah guru yang sesungguhnya. Kecerian di kelas. Kebahagian berkumpul dengan anak-anak. Betapa pun keadaan anak-anaknya. Merekalah anak-anak yang membutuhkan segala yang diperlukan untuk menghadapi masa depan, masa depan yang kurang akrab. Guru harus mengetahui semua itu. Anak-anak mempunyai harapan. Orang tua mempunyai harapan. Guru juga mempunyai harapan. Bangsa dan negara yang mendasain harapan itu melalui kurikulum dan guru harus dapat menerjemahkan kepentingan umum (baca besar) itu kepada individu. Anak-anak ada di sekolah bukan membawa amanat bangsa, masyarakat, atau orang tuanya. Mereka masing-masing membawa amanat dirinya sendiri, keingiannya sendiri. Gurulah yang ditanggungjawabi menerjadikan keinginan anak-anak itu. Memang berat tanggung jawab guru yang bertengger dalam hati dan pikirnya jiwa mendidik." 
Membaca ulasan tersebut, saya jadi teringat wahyu yang pertama yang diterima oleh Rosulullah Muhammad SAW yaitu surat Al-Alaq: 1 - 5. Secara bebas ayat tersebut diterjemahkan seperti berikut, "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Perintah pertama yang turun kepada Rosulullah adalah "iqro" tak hanya apa yang tersurat tetapi juga apa yang tersirat. Tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah tentulah diperlukan "iqro" untuk memahaminya. Ya! membaca dengan hati plus membaca dengan cerdas. Sebab budaya "membaca" sangat berkaitan erat dengan perilaku cerdas. Tak mengherankan jika umat Islam mengalami masa keemasan dengan peradaban gemilang ketika "iqro" menjadi ruh yang tak pernah ditinggalkan. Dan umat Islam menjadi terpuruk kemudian disebabkan "iqro" hanya diperlakukan sebagai membaca tanpa makna.
Akan ada banyak hal yang kita dapatkan ketika membaca tak hanya sekadar membaca, tetapi membaca secara cerdas dengan hati yang diliputi ketundukan hanya kepada Sang Pencipta, Allah SWT. 
Terima kasih Prof. Rozak karena sudah memberikan pencerahan bagi kelalaianku memaknai "iqro".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar