Eva fauziah

Muqoddimah

Teropong kalbu; meneropong raga dan jiwa, nun di kedalaman raga kalbu memimpin jiwa. Meneropong kalbu memberi secercah cahaya.

Eva Fauziah

Oase Peradaban

Seorang ibu adalah oase bagi kerontangnya peradaban. Ia bukan sekadar fatamorgana. Ibu, di telapak kakimu kunci surga di hamparkan. Jangan sekali-kali kau tendang jauh karena kunci itu akan hilang selamanya.

taro link gambar di sene
Selamat datang di blog saya, hubungi saya melalui e-mail jika ingin mendapatkan info. Terima kasih, maaf saya hanya ingin berbagi dengan tetap memegang etika penulisan

Jumat, 06 Februari 2015

Analisis Cerita Klasik "Adan Pitu"



Didedikasikan untuk pemerhati budaya dan sastra lisan. Kisah ini ditulis kembali berdasarkan cerita ayahanda terkasih dan lakon Momolo Masjid Agung dalam bentuk Sendrawacana (sendratari) yang dipentaskan di Panggung Budaya Sunyaragi Cirebon pada tahun 1985.

Inilah kisahnya.



Alkisah, saat masjid Agung Sang Cipta Rasa yang letaknya di sebelah Barat Laut Keraton Pakungwati hampir selesai dibagun, datanglah utusan dari Mataram Kuno bernama Megananda yang memiliki sebuah ilmu kesaktian yang disebut Ajian Menjangan Wulung, sebuah ilmu hitam yang sangat mengerikan karena siapa pun yang terkena ajian ini akan tewas seketika dengan cara yang mengenaskan yaitu sekujur pori-pori tubuhnya akan mengeluarkan darah. Megananda adalah seorang penganut Hindu yang sangat membenci Islam. Oleh karena itu, ia berupaya menggagalkan pembuatan masjid Sang Cipta Rasa.
Secara diam-diam Megananda naik ke momolo masjid (kubah) dan bersembunyi di sana sambil menunggu saat yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya itu. Ketika seorang muadzin datang untuk mengumandangkan azan karena waktu shalat telah tiba, dengan segera ia menyebarkan mantera Ajian Menjangan Wulung dan seketika itu terkaparlah sang muadzin dengan tubuh bersimbah darah. Kejadian itu terus berulang, tiga orang muadzin telah menjadi korban. Tidak itu saja, beberapa orang santri yang akan melaksanakan shalat di masjid yang hampir selesai itu pun turut menjadi korban keganasan Megananda. Akibat kejadian tersebut, tak seorang pun yang berani mendekati masjid apalagi menyelesaikan pembangunannya.
Melihat kejadian-kejadian aneh tersebut, Panembahan Ratu yang bernama Nyi Mas Kadilangu, raja yang berkuasa saat itu, menjadi cemas dan prihatin. Ia memanggil Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin Dewan Walisongo dan meminta kepada mereka untuk menghentikan mantera Ajian Menjangan Wulung yang sudah banyak memakan korban itu.
Para wali pun terkejut melihat kejadian tersebut, kemudian mereka bermusyawarah untuk mengatasi peristiwa aneh yang terus memakan korban itu. Mereka sepakat menunjuk Sunan Kalijaga untuk mencari tahu dan sekaligus memusnahkan penyebab jatuhnya para korban dengan cara yang mengerikan tersebut. Mendapat amanat berat, Sunan Kalijaga meminta waktu untuk memohon petunjuk Allah. Berangkatlah Sunan Kalijaga ke padepokan Amparan Jati untuk bertirakat.
Tujuh hari kemudian, Sunan Kalijaga menghadap Dewan Walisongo untuk menjelaskan hasil tirakatnya. Bahwa penyebab kematian muadzin dan para santri adalah ilmu kesaktian milik Meganada yang disebut Ajian Menjangan Wulung. Ajian itu dapat dimusnahkan dengan mengumandangkan adzan yang dilantunkan oleh tujuh orang muadzin secara bersamaan. Namun, harus ada yang menjadi tumbal yakni dua orang wanita yang berhati tulus dan suci sebagai kunci pemusnah mantera. Tentu saja dewan Walisongo kebingungan menentukan siapa wanita yang bersedia menjadi tumbal. Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba Nyi Mas Kadilangu menyatakan kesediaannya menjadi tumbal disusul kesediaan Nyi Mas Pakungwati, istri Sunan Gunung Jati. Dewan menjadi riuh dan berkeberatan dengan niat dua wanita yang sangat mereka hormati itu. Namun, Nyi Mas Kadilangu dan Nyi Mas Pakungwati tetap bersikukuh. Mereka menginginkan masjid segera diselesaikan dan dijadikan pusat penyebaran agama Islam. Dengan berat hati, akhirnya dewan mengabulkan keinginan kedua wanita itu.
Menjelang subuh, Sunan Kalijaga menitahkan tujuh orang muadzin segera mengumandangkan adzan secara serentak. Ketika adzan selesai dikumandangkan, tiba-tiba dari arah momolo masjid terdengar ledakan dahsyat dan momolo terpental jauh sampai ke masjid Agung Banten, sedangkan Megananda berubah menjadi sebuah pusaka yang bernama Walung Ireng. Bersamaan dengan itu,  terdengar jeritan dua wanita yang merelakan dirinya menyerap Ajian Menjangan Wulung, dialah Nyi Mas Kadilangu dan Nyi Mas Pakungwati yang rela berkorban bagi kepentingan agama dan rakyatnya.  Karena peristiwa itu. Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak memiliki momolo (kubah) sedangkan masjid Agung Banten memiliki dua momolo. Untuk mengingat peristiwa itu, pada setiap menjelang shalat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa dikumandangkanlah adzan oleh tujuh orang muadzin.

Analisis Sosiolosi Sastra "Adan Pitu"


1.    Hubungan antara kisah “Adan Pitu”  dengan masyarakat dan budaya serta bukti-bukti dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula. Dalam kisah “Adan Pitu” terjadi hubungan antara sastra dengan masyarakatnya yaitu masyarakat Cirebon pada masa Kesultanan Pakungwati yang tergambar pada penokohannya yang berasal dari Keraton tersebut yaitu: Nyi Mas Kadilangu (Raja yang memerintah Kesultanan Pakungwati pada masa itu), Nyi Mas Pakungwati (Putri Pangeran Cakrabuana yang diperistri Sunan Gunung Jati) yang meninggal pada usia lanjut di dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga (yang termasuk dalam Wali Songo) adalah tokoh-tokoh yang benar-benar ada dalam sejarah Kesultanan Kasepuhan (Keratonnya disebut Karaton Pakungwati; sesuai dengan nama anak perempuan Raja Cirebon yang pertama) dan sejarah penyebaran Agama Islam di tatar Cirebon serta Pulau Jawa pada umumnya. Sedangkan tokoh antagonis bernama Megananda belum diketahui kebenarannya namun ilmu hitam Menjangan Wulung sampai sekarang dipercaya sebagian masyarakat Cirebon terutama di daerah pinggiran sebagai ilmu hitam (santet) yang mematikan. Masjid sebagai pusat penyebaran dan pengajaran Agama Islam pun tergambar pada kisah tersebut. Dikisahkan bagaimana dengan susah payah dan penuh pengorbanan, masjid didirikan sebagai pusat pengajaran, pengembangan, dan penyebaran Agama Islam. Dengan demikian, Masjid memiliki peran penting dan strategis (Islamic Centre) bukan hanya sebagai tempat beribadah semata. Masjid dibangun dalam lingkungan Keraton memiliki filosofi tertentu. Tipe pembangunan seperti itu, dapat juga dilihat pada Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta dan mungkin pada sebagian besar kerajaan Islam di Indonesia. Hal itu, menunjukkan bahwa sangat erat kaitannya tugas seorang raja sebagai penguasa disamping tugasnya mengemban amanat pengajaran dan penyebaran Agama Islam pada masyarakatnya. Hal itulah yang tergambar pada tipe kepemimpinan Rasulullah SAW, sebab Beliau bukan saja sebagai Nabi dan Rosul yang diutus oleh Allah mengjarkan dan menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil alamiin tetapi juga Beliau adalah seorang Negarawan yang berhasil membangun sebuah Negara yang kuat tanpa memproklamirkan dirinya sebagai kepala Negara. Seorang pemimpin adalah pemimpin bagi bangsanya menuju kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Ketika Beliau hijrah ke Madinah, yang pertama kali dibangun adalah Masjid.  
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:
1)        Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin    oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
2)        Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap espek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3)        Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. Sama dengan masya-rakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menentukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2006).
Sebagian terbesar sastra daerah di Indonesia identik dengan sastra lisan. Fungsinya, selain sebagai saluran untuk memelihara dan menurunkan buah pikiran suku atau puak yang mempunyai sastra itu, juga cer­minan alam pikiran, pandangan hidup, serta ekspresi rasa keindahan masyarakat pemiliknya. Itulah yang biasa di­namakan dengan nilai budaya daerah. Sistem nilai itu berupa konsepsi yang hidup dalam alam pikiran war­ga masyarakat sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Wu­judnya dapat berupa adat istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang mengatur lang­kah dan tindak  budaya yang beradab. Dengan sikap rasa ikut memiliki, dalam diri seseorang akan timbul rasa menghargai dan memi­liki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama, seperti adanya rasa memiliki terhadap ungkapan tut wuri handayani (Jawa) dan pepatah bulat air karena buluh, bulat kata karena mufakat (Mingankabau). Dalam kehidupan keluarga sering kita dengar petuah, "Janganlah menjadi anak seperti Si Malin Kundang dan Si Mardan yang mendapat kutukan karena tidak hormat kepada orang tua."  Dengan membaca karya sastra, kita akan mem­peroleh "sesuatu" yang dapat memperkaya wawasan dan/atau meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang ber­manfaat bagi kehidupan. Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai itu di­kemas dalam wujud struktur karya sastra, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau di dalam larik, kuplet, rima, dan irama. Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain, adalah sebagai ber­ikut:
1)        nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kese­nangan
secara langsung kepada pembaca;
2)        nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan;
3)        nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau me­ngandung hubungan yang mendalam dengan suatu masya­rakat, peradaban, atau kebuda­yaan; 
4)        nilai etis, moral, agama (ethical, moral, religious 9value), yaitu nilai yang da­pat mem­berikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan de­ngan etika, moral, atau agama;
5)        nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Kisah “Adan Pitu” adalah sastra lisan yang dituturkan dari generasi ke genarasi, penulis mendengar kisah “Adan Pitu” pertama kali melalui dongeng yang  dikisahkan oleh ayahanda pada setiap pengawali pengajaran mengaji pada masa kecil yaitu sekitar Tahun 1970-an, begitupun menurut penuturan Beliau pun mendengarkan kisah tersebut dari dongeng yang diceritakan kakek pada saat belajar mengaji sekitar Tahun 1950-an, dan penulis menuturkan kisah tersebut kepada anak-anak sebagai dongeng pengantar tidur pada Tahun 1990-an, bahkan ketika putra penulis mendapat tugas dari gurunya untuk bercerita di depan kelas yang diceritakannya adalah kisah tersebut yang diberinya judul “Megananda.”
  Kisah “Adan Pitu” berkaitan dengan kepercayaan sinkritisme yakni percampuran kepercayaan Hindu dan Islam, masyarakat yang mulai memeluk agama Islam tetapi masih terpengaruh kepercayaan Hindu. Masjid sebagai simbol Islam sementara mantra (yang disebar oleh Megananda) dan tumbal (Nyi Mas Kadilangu dan Nyi Mas Pakungwati) sebagai kekuatan berdaya magis yang dipercayai umat Hindu. Dalam ritual-ritual Hindu sering tergambar tumbal/ korban persembahan bagi Dewa adalah upaya suci menolak bala. Demikian juga pengorbanan Nyi Mas Kadilangu dan Nyi Mas Pakungwati merupakan syarat pembersihan dan penyucian masjid dari pengaruh jahat Megananda. Begitu juga, tradisi priyayi warisan raja-raja Hindu yang menganggap raja sebagai titisan atau keturunaan Dewa masih dipertahankan oleh raja Cirebon yakni menempatkan raja dan kerabatnya sebagai sosok yang tanpa cela, harus disembah, bahkan ada kecenderungan membuat sisilah sampai kepada Nabi Muhammad SAW untuk meyakinkan masyarakat bahwa rajanya adalah orang mulia keturunan Nabiyullah yang patut dipuja dan disembah. Lihat saja bagaimana tradisi mlaku ndodok sambil menyembah jika hendak bertemu dengan raja dari jarak seratus meter sebelum sampai di depan singgasana sang raja, padahal tradisi tersebut tidak ditemui pada masa kepemimpinan Rosulullah di Madinah maupun ketika kembali ke Mekah juga pada masa Khulafaur Rosidin (masa kekhalifahan Abu Bakar Sidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Sehingga tidaklah mengherankan ketika timbul cerita-cerita dahsyat di seputar kehidupan raja dan kerabatnya. Berdasarkan penelusuran penulis kepada sesepuh masjid diketahui bahwa pada masa itu terjadi wabah penyakit semacam campak di daerah Cirebon dan yang termasuk terkena wabah itu adalah Nyi Mas Pakungwati yang kemudian meninggal di dalam masjid, sehingga muncullah cerita Megananda tersebut.
Raja tidak mungkin berada di bawah rakyatnya, nampaknya tradisi itu juga dipegang teguh oleh keluarga karajaan Cirebon, ketika membangun masjid tidak disertai momolo, kubah yang letaknya di atas, tempat muadzin mengumandangkan adzan. Sebab ketika muadzin naik ke momolo itu artinya ia berada di atas raja, dan hal itu tidak boleh terjadi, rakyat tetap harus berada di bawah rajanya. Oleh karena itu, tidak dibangun momolo masjid. Agar suara adzan terdengar jelas sampai mencapai tempat yang jauh tentu harus dikumadangkan oleh banyak orang secara bersamaan (pengeras suara belum ada pada saat itu). Namun, yang muncul pada pemahaman masyarakat bukan filosofi tersebut, justru cerita dahsyat seputar Ilmu Hitam Menjangan Wulung dan terpental kemudian terbangnya momolo ke arah Banten lalu menempel di masjid Banten.
Realitas yang masih tergambar sampai sekarang adalah keberadaan keraton Kasepuhan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang sampai sekarang masih berdiri dan merupakan bagian peninggalan Sunan Gunung Jati, secara geografis kedua tempat itu termasuk dalam wilayah Kota Cirebon sedangkan makam keluarga raja Cirebon terletak di Desa Astana Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon. Desa tersebut diberi nama Gunung Jati sesuai dengan nama Sunan Gunung Jati. Sampai saat ini, makam Sunan Gunung Jati dan raja-raja Cirebon serta keluarganya tersebut ramai dikunjungi para peziarah, juga masih diselenggarakan beberapa tradisi seperti tradisi kliwonan setiap malam jumat kliwon, grebeg sawal setiap menjelang Idul Fitri, dan pelal panjang jimat setiap malam tanggal 12 Rabiulawwal (penanggalan Hijrah/ Islam). Bahkan tradisi Adan Pitu yaitu mengumandangkan adzan oleh tujuh orang muadzin secara bersamaan sampai saat ini masih dilakukan pada setiap Shalat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Ulama (wali) menduduki posisi penting dalam masyarakat, hal tersebut tergambar pada sikap Nyi Mas Pakungwati sebagai raja tidak berani bertindak gegabah mengambil keputusan tetapi memanggil dan meminta pertolongan Sunan Gunung Jati untuk mengatasi masalah yang terjadi. Tradisi musyawarah (sikap yang tercantum pada sila keempat Pancasila; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/ kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan) tampak jelas pada kisah ini, setelah Sunan Gunung Jati menghadap Nyi Mas Kadilangu, ia kemudian mengumpulkan Dewan Wali Songo untuk memusyawarahkan cara mengatasi masalah yang meresahkan masyarakat tersebut. Berdasarkan musyawarah, dipilihlah Sunan Kalijaga untuk mencari tahu cara penyelesaiannya dengan bertirkat untuk memohon petunjuk Allah di padepokan Amparan Jati. Akhirnya, masalah dapat diatasi melalui petunjuk yang diperoleh Sunan Kalijaga pada saat tirakat. Betapa mereka berhati-hati mengambil sebuah keputusan, sebab keputusan yang benar adalah yang berdasarkan petunjuk Allah, itu artinya sikap relegius hendaknya menjadi cermin kehidupan kita. Dalam khasanah budaya Cirebon, ternyata kaum wanita memiliki peran penting dalam pemerintahan dan masyarakat. Terbukti, bahwa tampuk pimpinan saat itu dipegang oleh seorang perempuan yaitu Nyi Mas Kadilangu, meskipun dalam pengambilan keputusan ia bantu oleh para ulama (wali). Hal itu menunjukkan bahwa kedudukan perempuan memiliki kesejajaran dengan pria dan perannya diperhitungkan dalam politik dan kemasyarakatan. Juga pendapat Nyi Mas Pakungwati dalam musyawarah Dewan Wali Songo disetujui dewan. Dalam kisah lain, Nyi Mas Gandasari (Ratu Panguragan) maju ke medan perang bersama suaminya (Syekh Magelung) menghadapi kerajaan Galuh Ciamis yang menolak masuk Islam dan memenangkan peperangan itu.
Sebagai karya sastra yang memiliki nilai hedonik dan artistik, “Adan Pitu” menginspirasi para seniman dan budayawan Cirebon untuk mengangkatnya menjadi seni pertunjukkan. Mereka mengadaptasi sastra lisan ini menjadi pertunjukkan yang bertajuk sendrawacana (sendatari) yang berjudul “Momolo Masjid Agung”, sendratari yang dipadukan dengan drama (dengan teknik lipsing) menjadikannya pagelaran yang memukau. Sendrawacana tersebut dipagelarkan pada peresmian Panggung Budaya Sunyaragi, panggung yang mengambil latar belakang Gua Sunyaragi mirip tipe panggung budaya di Candi Prambanan, pada tahun 1985. Dan masih dalam tahun yang sama TVRI pusat Jakarta menayangkannya dengan pengemasan khusus model studio televisi. Namun sayang, Panggung Budaya Sunyaragi kini merana tak terurus dengan tumbuhan liar yang menggerogoti keindahannya.

2.    Teori yang dapat digunakan untuk membahas hubungan antara sastra dengan masyarakat dan budaya.
Teori yang dapat digunakan untuk membahas hubungan antara sastra dengan mayarakat dan budaya adalah teori-teori yang terdapat dalam lingkup sosiologi sastra, antara lain sebagai berikut:
a.       Teori Mimesis. Teori ini memiliki anggapan dasar bahwa teks sastra pada dasarnya merupakan wakil atau penggambaran dari realitas. Oleh sebab itu, untuk mampu memahami realitas yang digambarkan dalam teks sastra, pembaca terlebih dahulu memiliki bekal pemahaman tentang realitas itu sendiri, baik berupa pengetahuan maupun pengalaman. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna dan  hakikat kenyataan itu. Kedekatan kisah “Adan Pitu” dengan realitas masyarakatnya tergambar pada nama-nama tokoh, nama tempat, dan tradisi yang masih ada dan hidup sampai saat ini.
b.      Teori Emotif, merupakan teori yang bernggapan bahwa karya sastra pada dasarnya hadir dari kedalaman emosi pengarangnya. Dengan demikian, pembaca harus memiliki kedalaman rasa atau emosi sehingga terdapat pertautan antara sesuatu yang dipaparkan pengarang dengan respons yang dimiliki pembaca. Kisah “Adan Pitu” adalah sastra lisan yang dituturkan dari generasi ke generasi, kapan dan siapa yang memulai kisah itu sangat sulit untuk diungkapkan. Namun, ketika penutur mengisahkannya akan dipengaruhi secara emosional sehingga memungkinkan kisah sastra lisan dalam berbagai versi yang terkadang berbeda antara satu dengan lainnya meskipun dalam kisah yang sama. Karena dari satu penutur ke penutur lainnya akan terjadi perbedaan apresiasi. Hal tersebut, dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman pendengarnya yang kemudian menuturkan kembali kepada orang lain.
c.       Teori Feminis. Pengertian teori feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan dalam karya sastra. Asumsi pandangan ini bahwa karya sastra tidak lepas dari pandangan dikotomi laki-laki dan perempuan. Tujuan kajiannya adalah untuk mengkritisi pengelompokkan karya sastra dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasrkan pada patrialkhal, untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan yang dibuat perempuan, untuk mengokohkan gynokritic, yaitu teks-teks yang dipusatkan pada perempuan, dan mengukuhkan kanon perempuan, untuk  mengeksplorasi konstruksi kultural dari gender dan identitas. Sasaran kajian adalah mengungkap karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa ditekan oleh tradisi, mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita yang ditulis pengarang pria, mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata, mengkaji dari aspek ginokritik, yaitu memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah kaum wanita memiliki kekhasan dalam kehidupan nyata, mengungkap psikoanalisis feminis, yaitu wanita lebih senang kepada yang halus, emosional, dan sejenisnya.  Jelas tergambar pada kisah “Adan Pitu” bahwa sosok wanita memiliki peran strategis sebagai pemimpin (penguasa) bukan tokoh yang termarjinalkan (Nyi Mas Kadilangu).  Namun, sebagai seorang wanita yang memiliki perasaan halus, ia menjadi tokoh yang rela mengorbankan dirinya untuk kepentingan agama dan masyrakatnya, suatu pilihan kemuliaan berdasarkan pemahaman masyarakat saat itu. Sebab wanita selalu digambarkan sebagai sosok yang memiliki ketulusan dan kesucian hati.  
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar