Inilah kisahnya.
Alkisah, saat
masjid Agung Sang Cipta Rasa yang letaknya di sebelah Barat Laut Keraton
Pakungwati hampir selesai dibagun, datanglah utusan dari Mataram Kuno bernama
Megananda yang memiliki sebuah ilmu kesaktian yang disebut Ajian Menjangan Wulung, sebuah ilmu hitam yang sangat mengerikan
karena siapa pun yang terkena ajian ini akan tewas seketika dengan cara yang
mengenaskan yaitu sekujur pori-pori tubuhnya akan mengeluarkan darah. Megananda
adalah seorang penganut Hindu yang sangat membenci Islam. Oleh karena itu, ia berupaya
menggagalkan pembuatan masjid Sang Cipta Rasa.
Secara
diam-diam Megananda naik ke momolo masjid (kubah) dan bersembunyi di sana
sambil menunggu saat yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya itu. Ketika
seorang muadzin datang untuk mengumandangkan azan karena waktu shalat telah
tiba, dengan segera ia menyebarkan mantera Ajian Menjangan Wulung dan seketika
itu terkaparlah sang muadzin dengan tubuh bersimbah darah. Kejadian itu terus
berulang, tiga orang muadzin telah menjadi korban. Tidak itu saja, beberapa
orang santri yang akan melaksanakan shalat di masjid yang hampir selesai itu
pun turut menjadi korban keganasan Megananda. Akibat kejadian tersebut, tak
seorang pun yang berani mendekati masjid apalagi menyelesaikan pembangunannya.
Melihat
kejadian-kejadian aneh tersebut, Panembahan Ratu yang bernama Nyi Mas
Kadilangu, raja yang berkuasa saat itu, menjadi cemas dan prihatin. Ia memanggil
Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin Dewan Walisongo dan meminta kepada mereka
untuk menghentikan mantera Ajian Menjangan Wulung yang sudah banyak memakan
korban itu.
Para wali pun
terkejut melihat kejadian tersebut, kemudian mereka bermusyawarah untuk mengatasi
peristiwa aneh yang terus memakan korban itu. Mereka sepakat menunjuk Sunan Kalijaga
untuk mencari tahu dan sekaligus memusnahkan penyebab jatuhnya para korban
dengan cara yang mengerikan tersebut. Mendapat amanat berat, Sunan Kalijaga
meminta waktu untuk memohon petunjuk Allah. Berangkatlah Sunan Kalijaga ke
padepokan Amparan Jati untuk bertirakat.
Tujuh hari
kemudian, Sunan Kalijaga menghadap Dewan Walisongo untuk menjelaskan hasil
tirakatnya. Bahwa penyebab kematian muadzin dan para santri adalah ilmu
kesaktian milik Meganada yang disebut Ajian Menjangan Wulung. Ajian itu dapat
dimusnahkan dengan mengumandangkan adzan yang dilantunkan oleh tujuh orang
muadzin secara bersamaan. Namun, harus ada yang menjadi tumbal yakni dua orang
wanita yang berhati tulus dan suci sebagai kunci pemusnah mantera. Tentu saja
dewan Walisongo kebingungan menentukan siapa wanita yang bersedia menjadi
tumbal. Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba Nyi Mas Kadilangu menyatakan
kesediaannya menjadi tumbal disusul kesediaan Nyi Mas Pakungwati, istri Sunan
Gunung Jati. Dewan menjadi riuh dan berkeberatan dengan niat dua wanita yang
sangat mereka hormati itu. Namun, Nyi Mas Kadilangu dan Nyi Mas Pakungwati
tetap bersikukuh. Mereka menginginkan masjid segera diselesaikan dan dijadikan
pusat penyebaran agama Islam. Dengan berat hati, akhirnya dewan mengabulkan
keinginan kedua wanita itu.
Menjelang subuh,
Sunan Kalijaga menitahkan tujuh orang muadzin segera mengumandangkan adzan
secara serentak. Ketika adzan selesai dikumandangkan, tiba-tiba dari arah momolo
masjid terdengar ledakan dahsyat dan momolo terpental jauh sampai ke masjid
Agung Banten, sedangkan Megananda berubah menjadi sebuah pusaka yang bernama
Walung Ireng. Bersamaan dengan itu, terdengar
jeritan dua wanita yang merelakan dirinya menyerap Ajian Menjangan Wulung,
dialah Nyi Mas Kadilangu dan Nyi Mas Pakungwati yang rela berkorban bagi
kepentingan agama dan rakyatnya. Karena
peristiwa itu. Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak memiliki momolo (kubah)
sedangkan masjid Agung Banten memiliki dua momolo. Untuk mengingat peristiwa
itu, pada setiap menjelang shalat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa dikumandangkanlah
adzan oleh tujuh orang muadzin.
Analisis Sosiolosi Sastra "Adan Pitu"
1.
Hubungan
antara kisah “Adan Pitu” dengan
masyarakat dan budaya serta bukti-bukti dari hasil penelitian yang telah
dilakukan.
Karya sastra menerima pengaruh dari
masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990).
Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti
struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di
dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut
lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial,
seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan
sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra
tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa
tertentu dengan permasalahan tertentu pula. Dalam kisah “Adan Pitu” terjadi hubungan
antara sastra dengan masyarakatnya yaitu masyarakat Cirebon pada masa
Kesultanan Pakungwati yang tergambar pada penokohannya yang berasal dari
Keraton tersebut yaitu: Nyi Mas Kadilangu (Raja yang memerintah Kesultanan
Pakungwati pada masa itu), Nyi Mas Pakungwati (Putri Pangeran Cakrabuana yang
diperistri Sunan Gunung Jati) yang meninggal pada usia lanjut di dalam Masjid
Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga (yang termasuk
dalam Wali Songo) adalah tokoh-tokoh yang benar-benar ada dalam sejarah Kesultanan
Kasepuhan (Keratonnya disebut Karaton Pakungwati; sesuai dengan nama anak
perempuan Raja Cirebon yang pertama) dan sejarah penyebaran Agama Islam di
tatar Cirebon serta Pulau Jawa pada umumnya. Sedangkan tokoh antagonis bernama
Megananda belum diketahui kebenarannya namun ilmu hitam Menjangan Wulung sampai sekarang dipercaya sebagian masyarakat
Cirebon terutama di daerah pinggiran sebagai ilmu hitam (santet) yang
mematikan. Masjid sebagai pusat penyebaran dan pengajaran Agama Islam pun
tergambar pada kisah tersebut. Dikisahkan bagaimana dengan susah payah dan
penuh pengorbanan, masjid didirikan sebagai pusat pengajaran, pengembangan, dan
penyebaran Agama Islam. Dengan demikian, Masjid memiliki peran penting dan
strategis (Islamic Centre) bukan
hanya sebagai tempat beribadah semata. Masjid dibangun dalam lingkungan Keraton
memiliki filosofi tertentu. Tipe pembangunan seperti itu, dapat juga dilihat pada
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta dan mungkin pada sebagian besar
kerajaan Islam di Indonesia. Hal itu, menunjukkan bahwa sangat erat kaitannya
tugas seorang raja sebagai penguasa disamping tugasnya mengemban amanat
pengajaran dan penyebaran Agama Islam pada masyarakatnya. Hal itulah yang
tergambar pada tipe kepemimpinan Rasulullah SAW, sebab Beliau bukan saja
sebagai Nabi dan Rosul yang diutus oleh Allah mengjarkan dan menyebarkan Islam
sebagai rahmatan lil alamiin tetapi
juga Beliau adalah seorang Negarawan yang berhasil membangun sebuah Negara yang
kuat tanpa memproklamirkan dirinya sebagai kepala Negara. Seorang pemimpin
adalah pemimpin bagi bangsanya menuju kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan
akhirat. Ketika Beliau hijrah ke Madinah, yang pertama kali dibangun adalah
Masjid.
Ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan
dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai
berikut:
1)
Karya sastra ditulis
oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek
tersebut adalah anggota masyarakat.
2)
Karya sastra hidup
dalam masyarakat, menyerap espek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat,
yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3)
Medium karya sastra,
baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan
sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
Berbeda
dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi yang lain, dalam
karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas
sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. Sama dengan masya-rakat,
karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menentukan citra
dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2006).
Sebagian terbesar sastra daerah di
Indonesia identik dengan sastra lisan. Fungsinya, selain sebagai saluran untuk
memelihara dan menurunkan buah pikiran suku atau puak yang mempunyai sastra
itu, juga cerminan alam pikiran, pandangan hidup, serta ekspresi rasa
keindahan masyarakat pemiliknya. Itulah yang biasa dinamakan dengan nilai
budaya daerah. Sistem nilai itu berupa konsepsi yang hidup dalam alam
pikiran warga masyarakat sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan.
Wujudnya dapat berupa adat istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang
mengatur langkah dan tindak budaya yang
beradab. Dengan sikap rasa ikut memiliki, dalam diri seseorang akan timbul rasa
menghargai dan memiliki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama, seperti
adanya rasa memiliki terhadap ungkapan tut wuri handayani (Jawa) dan
pepatah bulat air karena buluh, bulat kata karena mufakat (Mingankabau).
Dalam kehidupan keluarga sering kita dengar petuah, "Janganlah menjadi anak seperti
Si Malin Kundang dan Si Mardan yang mendapat kutukan karena tidak hormat kepada
orang tua." Dengan membaca karya sastra, kita akan memperoleh
"sesuatu" yang dapat memperkaya wawasan dan/atau meningkatkan harkat
hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan.
Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai
itu dikemas dalam wujud struktur karya sastra, yang secara implisit terdapat
dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau di dalam larik, kuplet, rima,
dan irama. Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain, adalah
sebagai berikut:
1)
nilai hedonik (hedonic
value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan
secara langsung kepada pembaca;
secara langsung kepada pembaca;
2)
nilai artistik (artistic
value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau
keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan;
3)
nilai kultural (cultural
value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang
mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan;
4)
nilai etis, moral,
agama (ethical, moral, religious 9value), yaitu nilai yang dapat memberikan
atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau
agama;
5)
nilai praktis (practical
value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan
dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Kisah
“Adan Pitu” adalah sastra lisan yang dituturkan dari generasi ke genarasi,
penulis mendengar kisah “Adan Pitu” pertama kali melalui dongeng yang dikisahkan oleh ayahanda pada setiap
pengawali pengajaran mengaji pada masa kecil yaitu sekitar Tahun 1970-an,
begitupun menurut penuturan Beliau pun mendengarkan kisah tersebut dari dongeng
yang diceritakan kakek pada saat belajar mengaji sekitar Tahun 1950-an, dan
penulis menuturkan kisah tersebut kepada anak-anak sebagai dongeng pengantar
tidur pada Tahun 1990-an, bahkan ketika putra penulis mendapat tugas dari
gurunya untuk bercerita di depan kelas yang diceritakannya adalah kisah
tersebut yang diberinya judul “Megananda.”
Kisah “Adan Pitu” berkaitan dengan kepercayaan
sinkritisme yakni percampuran kepercayaan Hindu dan Islam, masyarakat yang
mulai memeluk agama Islam tetapi masih terpengaruh kepercayaan Hindu. Masjid
sebagai simbol Islam sementara mantra (yang disebar oleh Megananda) dan tumbal
(Nyi Mas Kadilangu dan Nyi Mas Pakungwati) sebagai kekuatan berdaya magis yang
dipercayai umat Hindu. Dalam ritual-ritual Hindu sering tergambar tumbal/
korban persembahan bagi Dewa adalah upaya suci menolak bala. Demikian juga
pengorbanan Nyi Mas Kadilangu dan Nyi Mas Pakungwati merupakan syarat pembersihan
dan penyucian masjid dari pengaruh jahat Megananda. Begitu juga, tradisi priyayi
warisan raja-raja Hindu yang menganggap raja sebagai titisan atau keturunaan
Dewa masih dipertahankan oleh raja Cirebon yakni menempatkan raja dan
kerabatnya sebagai sosok yang tanpa cela, harus disembah, bahkan ada
kecenderungan membuat sisilah sampai kepada Nabi Muhammad SAW untuk meyakinkan
masyarakat bahwa rajanya adalah orang mulia keturunan Nabiyullah yang patut
dipuja dan disembah. Lihat saja bagaimana tradisi mlaku ndodok sambil menyembah jika hendak bertemu dengan raja dari
jarak seratus meter sebelum sampai di depan singgasana sang raja, padahal
tradisi tersebut tidak ditemui pada masa kepemimpinan Rosulullah di Madinah
maupun ketika kembali ke Mekah juga pada masa Khulafaur Rosidin (masa kekhalifahan Abu Bakar Sidiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Sehingga tidaklah mengherankan
ketika timbul cerita-cerita dahsyat di seputar kehidupan raja dan kerabatnya. Berdasarkan
penelusuran penulis kepada sesepuh masjid diketahui bahwa pada masa itu terjadi
wabah penyakit semacam campak di daerah Cirebon dan yang termasuk terkena wabah
itu adalah Nyi Mas Pakungwati yang kemudian meninggal di dalam masjid, sehingga
muncullah cerita Megananda tersebut.
Raja
tidak mungkin berada di bawah rakyatnya, nampaknya tradisi itu juga dipegang
teguh oleh keluarga karajaan Cirebon, ketika membangun masjid tidak disertai
momolo, kubah yang letaknya di atas, tempat muadzin mengumandangkan adzan.
Sebab ketika muadzin naik ke momolo itu artinya ia berada di atas raja, dan hal
itu tidak boleh terjadi, rakyat tetap harus berada di bawah rajanya. Oleh karena
itu, tidak dibangun momolo masjid. Agar suara adzan terdengar jelas sampai
mencapai tempat yang jauh tentu harus dikumadangkan oleh banyak orang secara
bersamaan (pengeras suara belum ada pada saat itu). Namun, yang muncul pada
pemahaman masyarakat bukan filosofi tersebut, justru cerita dahsyat seputar
Ilmu Hitam Menjangan Wulung dan terpental kemudian terbangnya momolo ke arah
Banten lalu menempel di masjid Banten.
Realitas
yang masih tergambar sampai sekarang adalah keberadaan keraton Kasepuhan,
Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang sampai sekarang masih berdiri dan merupakan
bagian peninggalan Sunan Gunung Jati, secara geografis kedua tempat itu
termasuk dalam wilayah Kota Cirebon sedangkan makam keluarga raja Cirebon
terletak di Desa Astana Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon. Desa tersebut
diberi nama Gunung Jati sesuai dengan nama Sunan Gunung Jati. Sampai saat ini,
makam Sunan Gunung Jati dan raja-raja Cirebon serta keluarganya tersebut ramai
dikunjungi para peziarah, juga masih diselenggarakan beberapa tradisi seperti
tradisi kliwonan setiap malam jumat
kliwon, grebeg sawal setiap menjelang
Idul Fitri, dan pelal panjang jimat
setiap malam tanggal 12 Rabiulawwal (penanggalan Hijrah/ Islam). Bahkan tradisi
Adan Pitu yaitu mengumandangkan adzan oleh tujuh orang muadzin secara bersamaan
sampai saat ini masih dilakukan pada setiap Shalat Jumat di Masjid Agung Sang
Cipta Rasa.
Ulama
(wali) menduduki posisi penting dalam masyarakat, hal tersebut tergambar pada
sikap Nyi Mas Pakungwati sebagai raja tidak berani bertindak gegabah mengambil
keputusan tetapi memanggil dan meminta pertolongan Sunan Gunung Jati untuk
mengatasi masalah yang terjadi. Tradisi musyawarah (sikap yang tercantum pada sila
keempat Pancasila; Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat/ kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan) tampak
jelas pada kisah ini, setelah Sunan Gunung Jati menghadap Nyi Mas Kadilangu, ia
kemudian mengumpulkan Dewan Wali Songo untuk memusyawarahkan cara mengatasi
masalah yang meresahkan masyarakat tersebut. Berdasarkan musyawarah, dipilihlah
Sunan Kalijaga untuk mencari tahu cara penyelesaiannya dengan bertirkat untuk
memohon petunjuk Allah di padepokan Amparan Jati. Akhirnya, masalah dapat
diatasi melalui petunjuk yang diperoleh Sunan Kalijaga pada saat tirakat.
Betapa mereka berhati-hati mengambil sebuah keputusan, sebab keputusan yang
benar adalah yang berdasarkan petunjuk Allah, itu artinya sikap relegius
hendaknya menjadi cermin kehidupan kita. Dalam khasanah budaya Cirebon,
ternyata kaum wanita memiliki peran penting dalam pemerintahan dan masyarakat.
Terbukti, bahwa tampuk pimpinan saat itu dipegang oleh seorang perempuan yaitu
Nyi Mas Kadilangu, meskipun dalam pengambilan keputusan ia bantu oleh para
ulama (wali). Hal itu menunjukkan bahwa kedudukan perempuan memiliki
kesejajaran dengan pria dan perannya diperhitungkan dalam politik dan
kemasyarakatan. Juga pendapat Nyi Mas Pakungwati dalam musyawarah Dewan Wali
Songo disetujui dewan. Dalam kisah lain, Nyi Mas Gandasari (Ratu Panguragan)
maju ke medan perang bersama suaminya (Syekh Magelung) menghadapi kerajaan
Galuh Ciamis yang menolak masuk Islam dan memenangkan peperangan itu.
Sebagai
karya sastra yang memiliki nilai hedonik dan artistik, “Adan Pitu”
menginspirasi para seniman dan budayawan Cirebon untuk mengangkatnya menjadi
seni pertunjukkan. Mereka mengadaptasi sastra lisan ini menjadi pertunjukkan yang
bertajuk sendrawacana (sendatari) yang berjudul “Momolo Masjid Agung”,
sendratari yang dipadukan dengan drama (dengan teknik lipsing) menjadikannya
pagelaran yang memukau. Sendrawacana tersebut dipagelarkan pada peresmian
Panggung Budaya Sunyaragi, panggung yang mengambil latar belakang Gua Sunyaragi
mirip tipe panggung budaya di Candi Prambanan, pada tahun 1985. Dan masih dalam
tahun yang sama TVRI pusat Jakarta menayangkannya dengan pengemasan khusus
model studio televisi. Namun sayang, Panggung Budaya Sunyaragi kini merana tak
terurus dengan tumbuhan liar yang menggerogoti keindahannya.
2. Teori yang dapat digunakan
untuk membahas hubungan antara sastra dengan masyarakat dan budaya.
Teori yang dapat digunakan untuk membahas hubungan antara sastra
dengan mayarakat dan budaya adalah teori-teori yang terdapat dalam lingkup
sosiologi sastra, antara lain sebagai berikut:
a.
Teori Mimesis. Teori ini
memiliki anggapan dasar bahwa teks sastra pada dasarnya merupakan wakil atau
penggambaran dari realitas. Oleh sebab itu, untuk mampu memahami realitas yang
digambarkan dalam teks sastra, pembaca terlebih dahulu memiliki bekal pemahaman
tentang realitas itu sendiri, baik berupa pengetahuan maupun pengalaman. Lewat
mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna dan hakikat kenyataan itu. Kedekatan kisah “Adan
Pitu” dengan realitas masyarakatnya tergambar pada nama-nama tokoh, nama
tempat, dan tradisi yang masih ada dan hidup sampai saat ini.
b.
Teori Emotif, merupakan teori
yang bernggapan bahwa karya sastra pada dasarnya hadir dari kedalaman emosi
pengarangnya. Dengan demikian, pembaca harus memiliki kedalaman rasa atau emosi
sehingga terdapat pertautan antara sesuatu yang dipaparkan pengarang dengan
respons yang dimiliki pembaca. Kisah “Adan Pitu” adalah sastra lisan yang
dituturkan dari generasi ke generasi, kapan dan siapa yang memulai kisah itu
sangat sulit untuk diungkapkan. Namun, ketika penutur mengisahkannya akan dipengaruhi
secara emosional sehingga memungkinkan kisah sastra lisan dalam berbagai versi
yang terkadang berbeda antara satu dengan lainnya meskipun dalam kisah yang
sama. Karena dari satu penutur ke penutur lainnya akan terjadi perbedaan
apresiasi. Hal tersebut, dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman
pendengarnya yang kemudian menuturkan kembali kepada orang lain.
c.
Teori Feminis. Pengertian teori
feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan dalam karya
sastra. Asumsi pandangan ini bahwa karya sastra tidak lepas dari pandangan
dikotomi laki-laki dan perempuan. Tujuan kajiannya adalah untuk mengkritisi
pengelompokkan karya sastra dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar
yang didasrkan pada patrialkhal, untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan
yang dibuat perempuan, untuk mengokohkan gynokritic, yaitu teks-teks yang
dipusatkan pada perempuan, dan mengukuhkan kanon perempuan, untuk mengeksplorasi konstruksi kultural dari
gender dan identitas. Sasaran kajian adalah mengungkap karya penulis wanita
masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa ditekan oleh
tradisi, mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita yang ditulis pengarang pria,
mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri
sendiri dalam kehidupan nyata, mengkaji dari aspek ginokritik, yaitu memahami
bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah kaum wanita memiliki kekhasan
dalam kehidupan nyata, mengungkap psikoanalisis feminis, yaitu wanita lebih
senang kepada yang halus, emosional, dan sejenisnya. Jelas tergambar pada kisah “Adan Pitu” bahwa
sosok wanita memiliki peran strategis sebagai pemimpin (penguasa) bukan tokoh
yang termarjinalkan (Nyi Mas Kadilangu). Namun, sebagai seorang wanita yang memiliki
perasaan halus, ia menjadi tokoh yang rela mengorbankan dirinya untuk
kepentingan agama dan masyrakatnya, suatu pilihan kemuliaan berdasarkan
pemahaman masyarakat saat itu. Sebab wanita selalu digambarkan sebagai sosok
yang memiliki ketulusan dan kesucian hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar