Cerita Rakyat
Sebuah cerita adalah serangkaian peristiwa yang mempunyai hubungan
rekat. Unsur-unsur mengalir pada muara yang sama, tema sampai amanat. Lingkar
seluas mana pun pada akhirnya akan kembali pada bagian yang sama, yaitu
bagaimana unsur-unsur tersebut menjadi fungsional dan mendorong terwujudnya
kondisi yang saling mengabarkan. Artinya, unsur-unsur yang dibangun dapat
dipertanggungjawabkan.
Cerita apa pun selalu
ada alur yang dirancang atau terancang. Cerita modern dapat diusut melalui
penulis atau pengarangnya. Akan tetapi, ceria lama sulit ditelusuri
pengarangnya karena sifat kebersamaan sehingga jarang yang mengaku
mengarangnya. Cerita itu milik rakyat. Cerita yang berkembang di tengah
masyarakat ditularkan secara lisan dalam pertemuan-pertemuan kerakyatan seperti
syukuran, upacara adat, kesenian adat, atau memang pertemuan yang dirancang
untuk bercerita. Kondisi sosail saat itu sangat memungkinkan. Mereka bertemu
dalam suatu kondisi yang sama-sama mempunyai kepentingan untuk menghibur dan
pada akhirnya melestarikan cerita. Cerita rakyat dikategorikan ke dalam sastra
rakyat, yakni sastra yang hidup di tengah-tengah rakyat, dituturkan oleh ibu
kepada anaknya, tukang cerita menuturkannya kepada penduduk kampung yang tidak
bisa membaca (Fang, 1991:3).
Pelestarian cerita rakyat
dilakukan oleh para ahli yang peduli terhadap kepentingan pemeliharaan budaya
agar tetap menjadi bagian dari budaya rakyat. Sesuai dengan perkembangan
peradaban manusia, sastra lisan pun dipindahkan ke dalam bahasa tulis. Cerita
rakyat yang tertulis biasanya banyak versi sesuai dengan narasumber yang mereka
temui.
Syekh Magelung Sakti
Salah satu cerita
rakyat yang terkenal di daerah Cirebon adalah Syekh Magelung Sakti, cerita yang berkembang pada masa Sunan Gunung
Jati sekitar abad ke-15. Untuk kepentingan ulang kisah Syekh Magelung Sakti
tersebut, kami melakukan observasi ke situs makam Syekh Magelung di desa Karang
Kendal Kabupaten Cirebon, menghimpun kisah melalui juru kunci makam dan sesepuh
desa yang mengenal cerita itu dengan baik. Kami tuliskan kembali cerita itu
sebagai berikut.
Syekh Magelung Sakti
alias Syarif Syam alias Pangeran Soka alias Pangeran Karang Kendal berasal dari
negeri Syam (Syria), namun ada pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari
negeri Siam. Dilihat dari nama akhir, lebih cenderung ia berasal dari Syiria,
negeri yang banyak melahirkan tokoh-tokoh cerita terkenal.
Syarif Syam memiliki
rambut yang sangat panjang hingga menyentuh tanah, oleh karenanya ia lebih
sering mengikat rambutnya (gelung). Sehingga ia dikenal sebagai Syekh Magelung
(Syekh dengan rambut yang tergelung). Mengapa ia memiliki rambut yang sangat
panjang? Karena rambutnya tidak bisa dipotong dengan apa pun dan oleh siapa
pun. Rambut itu pertanda adanya keanehan. Seperti cerita-cerita klasik pada
umumnya selalu mempunyai hal unik, supranatural jika dipandang dari masa kini.
Pada masa lalu, biasanya orang mempunyai ilmu kedigjayaan, kelebihan yang
menandai adanya perbedaan dengan yang lain. Syekh Magelung tidak tahu mengapa
rambutnya terus memanjang. Ia berkelana dari suatu tempat ke tempat lain untuk
mencari orang yang sanggup memotong rambut panjangnya. Jika berhasil, orang
yang memotong rambutnya akan diangkatnya sebagai guru. Hingga akhirnya ia tiba
di tanah Jawa, tepatnya di Cirebon.
Pada sekitar tahun
1450 di Karang Kendal hidup seorang yang bernama Ki Tarsiman atau Ki Krayunan
atau Ki Gede Karang Kendal, terkenaal pula julukan Ki Buyut Selawe, karena
mempunyai 25 anak dari istrinya bernama Nyi Buyut Krayunan dikenal juga dengan
sebutan Nyi Sekar. Sebenarnya anak mereka berjumlah 24 orang, anak yang satu
lagi adalah seekor kerbau berwarna putih yang ikut menyusu pada Nyi Buyut
Krayunan, maka diangkatlah kerbau tersebut menjadi anak yang ke-25 dan diberi
nama Kebo Bule. Diduga mereka itu lah orang tua angkat Syarif Syam.
Dikisahkan, Syarif
Syam datang di pantai Utara Cirebon mencari seorang guru yang pernah
ditunjukkan dalam mimpinya, yaitu seorang waliyullah di tatar Cirebon. Atas
petunjuk Ki Tarsiman, ayah angkatnya, Syekh Magelung menuju ke suatu daerah. Di
situ ia bertemu dengan seorang tua yang sedang memotong rumput. Pemotong rumput
itu menyanggupi permintaan Syekh Magelung untuk memotong rambutnya. Dalam waktu
sekejap terpotonglah rambutnya. Orang itu tak lain adalah Sunan Gunung Jati. Syarif
Syam pun gembira dan menjadi murid Sunan Gunung Jati yang mengubah namanya
menjadi Pangeran Soka (asal kata suka).
Tempat terpotongnya rambut Syarif Syam diberi nama Karanggetas.
Menurut narasumber,
sebelum Sunan Gunung Jati memotong rambut Syekh Magelung, ia meminta Syekh
Magelung berikrar bahwa ia harus suka lillah (karena Allah). Karena benar-benar
ingin memotong rambutnya yang panjang itu, Syekh Magelung menyetujuinya.
Setelah rambutnya terpotong kemudian potongan itu ditanam di sebuah kampung di
pinggir sungai dekat Karanggetas. Sungai itu diberi nama Sukalila (suka lillah)
dan kampung di pinggir sungai itu bernama Gang Syekh Magelung.
Selesai berguru
kepada Sunan Gunung Jati, Pangeran Soka alias Syekh Magelung diberi tugas
mengembangkan ajaran Islam di wilayah utara. Ia tinggal di Karang Kendal,
Kapetakan, sekitar 19 km sebelah Utara Cirebon hingga wafatnya.
Tersebutlah Ki Gede
Tersana dari Kertasemaya, Indramayu yang memiliki sebuah bedug ajaib. Bedug itu
akan berbunyi setiap kali masuk waktu shalat, padahal Ki Gede Tersana bukanlah
seorang muslim. Syekh Magelung sangat menginginkan bedug tersebut dan ia harus
bertarung dengan pemiliknya. Ia berhasil memenangkan pertarungan dan
menundukkan Ki Gede Tersana berikut anak buahnya yang berujud makhluk halus
pemakan manusia. Makhluk gaib itu meminta syarat melalui Ki Tersana agar ia
diberi makan seorang manusia setiap tahunnya. Syekh Magelung tidak menyetujui
dan menggantinya dengan seekor kerbau yang dikenal dengan sesajen rujak wuni
(daging mentah). Dari kisah ini kemudian tradisi menyerahkan sesajen rujak wuni
berlangsung setiap tahun di Karang Kendal.
Nyi Mas Gandasari
Menurut masyarakat di
sekitar makam Nyi Mas Gandasari di Panguragan menyebutkan bahwa Nyi Mas
Gandasari berasal dari Aceh, adik Tubagus Pasei atau Fatahillah, putri dari
Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim. Ia diajak serta oelh Ki
Ageng Selapandan sejak kecil dan diangkat sebagai anak sepulangnya menunaikan
ibadah haji ke Mekah. Versi lain menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari adalah
putri Sultan Hud dari Kesultanan Basem Paseh (berdarah Timur Tengah), merupakan
murid di pesantren Islam Putri yang didirikan oleh Ki Ageng Selapandan.
Karena kecantikan dan
kepandaiannya dalam ilmu bela diri, Nyi Mas Gandasari berhasil menipu pangeran
dari Rajagaluh yang bernama Prabu Cakraningrat, sebuah negara bawahan kerajaan
Hindu Galuh-Pajajaran. Kerajaan itu sedang bertikai dengan Pangeran Cakrabuana
dan pengikutnya. Prabu Cakraningrat tertarik menjadikan Nyi Mas Gandasari sebagai
istri. Tak segan-segan ia pun diajak berkeliling ke seluruh pelosok isi
kerajaan, bahkan sampai ke tempat-tempat yang sangat rahasia. Kesempatan itu
kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Cakrabuana, orang tua angkat Nyi Mas
Gandasari, untuk menyerang Rajagaluh.
Ki Ageng Selapandan
alias Ki Kuwu Cirebon alias Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwngi
dari Kerajaan Hindu Pajajaran), berkeinginan agar anak angkatnya itu segera
menikah. Setelah meminta nasihat Sunan Gunung Jati, gurunya, keinginan sang
ayah disetujui Putri Selapandan (Nyi Mas Gandasari) dengan syarat calon
suaminya harus pria yang memiliki ilmu yang melebihi dirinya.
Meskipun telah banyak
yang meminangnya, ia tidak bisa menerimanya begitu saja dengan berbagai macam
alasan dan pertimbangan. Oleh karena itu diadakanlah sayembara memilih calon
suami. Siapa pun yang sanggup mengalahkan Nyi Mas Gandasari dalam ilmu bela diri
maka itulah jodoh Sang Putri. Sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa
berupaya menjajal kesaktian Sang Putri. Ki Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki Gede
Kapringan, serta pendatang dari negeri Cina, Ki Dampu atau Kyai Jangkar tak
satu pun mampu mengalahkannya. Akhirnya, Pangeran Soka memasuki arena
sayembara. Meskipun keduanya tampak berimbang, namun karena kelelahan Nyi Mas
Gandasari pun menyerah dan berlindung di balik Sunan Gunung Jati. Pangeran Soka
masih terus mencoba menyerang Nyi Mas Gandasari dan hampir mengenai kepala
Sunan Gunung Jati, namun sebelum tangannyanmenyentuh Sunan Gunung Jati mendadak
Pangeran Soka menjadi lemas tak berdaya. Sunan Gunung Jati membantunya berdiri
dan menyatakan bahwa tidak ada yang menang atau kalah dalam pertarungan
tersebut. Namun demikian, keduanya dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati. Menurut
cerita yang dituturkan naraasumber, bahwa perkawinan Syekh Magelung dan Nyi Mas
Gandasari adalah perkawinan senasab sehingga mereka tidak pernah serumah dan
tidak mempunyai keturunan.
Upacara Munjungan
Selain berjasa dalam
syiar Islam di Cirebon dan sekitarnya, Syarif Syam dikenal sebagai tokoh ulama
yang mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi. Ia membangun semacam pesanggrahan
yang dijadikan sebagai tempat melakukan syiar Islam dan mempunyai banyak
pengikut di antaranya Raden Jayalaksana, Ki Wandan, Ki Cempa, Ki Buyut Tersana,
Ki Buyut Tambang, dan Ki Buyut Lintang. Di akhir hayatnya ia berpesan agar
dimakamkan di Karang Kendal. Sampai sekarang tempat tersebut selalu diziarahi orang
dari berbagai daerah dalam upacara Munjungan.
Upacara tersebut diadakan satu tahun sekali pada bulan Oktober selama sekitar
lima belas hari. Munjungan artinya mengunjungi dan mendoakan Syekh Magelung
Sakti karena telah membawa syiar Islam ke dalam kehidupan masyarakat Karang
Kendal. Upacara itu diisi berbagai acara seperti tahilan dan pemotongan seekor
kerbau untuk dibuat rujak wuni, sesajen yang dipersembahkan kepada pengikut Ki
Tersana sebagai pemenuhan janji Syekh Magelung Sakti.
Pada acara Munjungan masyarakat Karang Kendal
selalu membuat makanan kesukaan dua murid sekaligus sahabat Syekh Magelung
yaitu Ki Wandan dan Ki Cempa berupa iwel-iwel
(jajanan pasar yang terbuat dari ketan) berwarna putih, kuning, hitam, dan
dodol merah. Warna-warna jajanan pasar itu mengandung makna simbolik sifat
dasar manusia yaitu putih berarti mutmainnah
(melambangkan pertahanan diri dari
segala kejahatan), kuning berarti radiah
(melambangkan dorongan batin yang dirihoi Allah), hitam berarti luamah (melambangkan rasa sesal setelah
melakukan kejahatan), dan merah berarti amarah (melambangkan dorongan batin
untuk berbuat jahat).
Menurut narasumber,
ajaran yang terkandung dari perjuangan Syekh Magelung Sakti berupa kesantrian
dan kesatriaan sekarang mengalami degradasi diakibatkan antara lain oleh
kemajuan teknologi. Masyarakat Karang Kendal sekarang lebih senang menonton
televisi daripada ke masjid, lebih senang minum-minuman daripada belajar
mengaji. Meskipun demikian, masih banyak juga yang meneruskan perjuangan Syekh
Magelung.
Di situs makam Syekh
Magelung Sakti terdapat sumur puser bumi, padasan keramat, depok (semacam
pendopo) Karang Kendal, jeramba, kroya, pegagan,dukuh, depok Ki Buyut Tersana,
dan pedaleman yang berisi pesekaran, paaseban, serta makam Syekh Magelung Sakti.
Istrinya, Nyi Mas Gandasari dimakamkan berjauhan dengan makamnya di desa
Panguragan, sehingga Nyi Mas Gandasari dikenal pula sebagai Ratu Panguragan.
Struktur Cerita
Syekh Magelung Sakti
adalah sebuah cerita. Ada alur yang runtun, jalinan peristiwa yang saling
bertaut satu sama lain. Sejak tokoh merasakan adanya keinginan memotong
rambutnya, berkelana mencari guru, bertemu dengan orang tua angkatnya, sampai
berguru kepada Sunan Gunung Jati yang dapat memotong rambutnya. Ragam peristiwa
yang disertai dengan tokoh merupakan alur sebuah cerita dan ciri utama cerita
adalah alur dan tokoh di samping konflik. Ketiga unsur cerita rekaan itu
merupakan bagian penting yang menandai hidupnya sebuah cerita.
Religi
Tokoh cerita dalam
sastra lama pada umumnya selalu memiliki kelebihan dalam berbagai segi,
terutama kesaktian. Syekh Magelung Sakti memiliki kesaktian, yakni pada awalnya
rambut yang panjang tidak dapat dipotong dengan alat apa pun bahkan alat akan
rusak jika digunakan untuk memotong rambutnya. Tidak ada seorang pun yang mampu
memotong rambutnya itu, dalam pikirannya siapa pun yang dapat memotong
rambutnya berarti memiliki kesaktian yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dia
mencari guru yang ilmunya lebih tinggi. Pesan yang tersirat pada kisah tersebut
adalah mencari ilmu merupakan kewajiban setiap umat Islam. Karena dalam
Al-Quran pun dinyatakan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu.
Syarif Syam yang
berasal dari Syria mencari guru hingga ke tanah Jawa. Pesan cerita ini cukup
jelas bahwa mencari ilmu tidak terbatas di negeri sendiri, bisa sampai ke
manapun. Rentang waktu dan tempat yang jauh tidak menghalangi Suarif Syam
mengembara mencari ilmu yang pada awalnya hanya untuk memotong rambut. Setelah
berguru kepada Sunan Gunung Jati, dia menyebarkan ajaran Islam. Apa yang telah
diperolehnya diamalkan. Ini gambaran dari segi religi bahwa kewajiban orang
breilmu adalah beramal sesuai dengan ilmu yang dimiliki.
Kemasyarakatan
Orang Cirebon
mengenal dengan baik nama Syekh Magelung Sakti. Sampai hari ini masyarakat
Karang Kendal, tempat makam Syekh Magelung masih dikunjungi orang. Tempat itu
dijadikan sebagai ziarah rohani. Upacara tahunan juga dilaksanakan yakni munjungan yang diisi dengan berbagai acara. Upacara ini
menunjukkan adanya rasa hormat kepada orang yang telah berjasa, telah
menyebarkan ajaran yang benar yakni ajaran Islam. Masyarakat ingin memelihara
rasa hormat ini dengan menyelenggarakan upacara. Perilaku ini menggambarkan
bagaimana tumbuhnya unsur religi yang dibalut dengan budaya.
Upacara munjungan
berpengaruh juga terhadap perekonomian rakyat pada saat itu, meskipun tidak
berlangsung lama. Orang tua kita selalu berperilaku arif, menyatakan maksud
tidak harus dengan berterus terang. Mereka sangat menghargai kecerdasan orang
lain. Mereka percaya bahwa anak-anaknya mempunyai kemampuan untuk menerjemahkan
simbol-simbol yang mengandung pesan.
Apa yang dilakukan oleh Syekh Magelung Sakti masih dilestarikan
sampai sekarang, misalnya makanan. Makanan itu menjadi ciri khas, menjadi
budaya yang mengaitkan dengan tempat pembuatannya. Masyarakat tetap
mempertahankannya karena dari segi ekonomi cukup menjanjikan. Pada saat
tertentu banyak pesanan. Di samping itu, tradisi keahlian membuat kue diturunkan
kepada setiap generasi.
Kontekstual Budaya
Jalan Karanggetas
menurut cerita merupakan tempat terputusnya rambut Syekh Magelung. Kata getas berarti putus. Sampai sekarang
orang Cirebon yang mempunyai niat melaksanakan sesuatu misalnya iring-iringan
pengantin tidk akan melewati jalan tersebut karena menurut kepercayaan jodohnya
tidak akan lama. Begitu pun orang yang akan mengadakan perjanjian perdagangan
menghindari jalan itu karena takut perjanjiannya batal. Belum ada penelitian
benar atau tidaknya hal tersebut. Namun demikian, ada hikmah yang tersirat
yaitu orang ingin selalu berbuat baik, jodoh ingin langgeng, perjanjian apa pun
ingin bertahan lama. Putus itu kurang baik, jadi sebaiknya dihindari
Ucapan Terima Kasih
Kami sampaikan terima
kasih kepada tokoh masyarakat desa Karang Kendal Kabupaten Cirebon, Bapak
Ansori, kepada sesepuh dan kuncen situs Syekh Magelung Sakti, Bapak H. Anwar. Berkat
bantuan beliau, data tentang cerita Syekh Magelung Sakti dapat kami himpun. Tidak
lupa pula terima kasihku kepada “the gang” di Pascasarjana UNSWAGATI; Mbak I’a,
Mbak Nani, Nok Aesah, dan Neng Dian. Kenangan indah ketika kita memburu data di
sela senja yang diguyur hujan deras, sehingga tulisan ini dapat terselesaikan
meskipun banyak kekurangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar