Eva fauziah

Muqoddimah

Teropong kalbu; meneropong raga dan jiwa, nun di kedalaman raga kalbu memimpin jiwa. Meneropong kalbu memberi secercah cahaya.

Eva Fauziah

Oase Peradaban

Seorang ibu adalah oase bagi kerontangnya peradaban. Ia bukan sekadar fatamorgana. Ibu, di telapak kakimu kunci surga di hamparkan. Jangan sekali-kali kau tendang jauh karena kunci itu akan hilang selamanya.

taro link gambar di sene
Selamat datang di blog saya, hubungi saya melalui e-mail jika ingin mendapatkan info. Terima kasih, maaf saya hanya ingin berbagi dengan tetap memegang etika penulisan

Minggu, 29 Juni 2014

Syekh Magelung Sakti; Suatu tinjauan sosiologi sastra



Cerita Rakyat

Sebuah cerita adalah serangkaian peristiwa yang mempunyai hubungan rekat. Unsur-unsur mengalir pada muara yang sama, tema sampai amanat. Lingkar seluas mana pun pada akhirnya akan kembali pada bagian yang sama, yaitu bagaimana unsur-unsur tersebut menjadi fungsional dan mendorong terwujudnya kondisi yang saling mengabarkan. Artinya, unsur-unsur yang dibangun dapat dipertanggungjawabkan.
Cerita apa pun selalu ada alur yang dirancang atau terancang. Cerita modern dapat diusut melalui penulis atau pengarangnya. Akan tetapi, ceria lama sulit ditelusuri pengarangnya karena sifat kebersamaan sehingga jarang yang mengaku mengarangnya. Cerita itu milik rakyat. Cerita yang berkembang di tengah masyarakat ditularkan secara lisan dalam pertemuan-pertemuan kerakyatan seperti syukuran, upacara adat, kesenian adat, atau memang pertemuan yang dirancang untuk bercerita. Kondisi sosail saat itu sangat memungkinkan. Mereka bertemu dalam suatu kondisi yang sama-sama mempunyai kepentingan untuk menghibur dan pada akhirnya melestarikan cerita. Cerita rakyat dikategorikan ke dalam sastra rakyat, yakni sastra yang hidup di tengah-tengah rakyat, dituturkan oleh ibu kepada anaknya, tukang cerita menuturkannya kepada penduduk kampung yang tidak bisa membaca (Fang, 1991:3).
Pelestarian cerita rakyat dilakukan oleh para ahli yang peduli terhadap kepentingan pemeliharaan budaya agar tetap menjadi bagian dari budaya rakyat. Sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, sastra lisan pun dipindahkan ke dalam bahasa tulis. Cerita rakyat yang tertulis biasanya banyak versi sesuai dengan narasumber yang mereka temui.

Syekh Magelung Sakti
Salah satu cerita rakyat yang terkenal di daerah Cirebon adalah Syekh Magelung Sakti,  cerita yang berkembang pada masa Sunan Gunung Jati sekitar abad ke-15. Untuk kepentingan ulang kisah Syekh Magelung Sakti tersebut, kami melakukan observasi ke situs makam Syekh Magelung di desa Karang Kendal Kabupaten Cirebon, menghimpun kisah melalui juru kunci makam dan sesepuh desa yang mengenal cerita itu dengan baik. Kami tuliskan kembali cerita itu sebagai berikut.
Syekh Magelung Sakti alias Syarif Syam alias Pangeran Soka alias Pangeran Karang Kendal berasal dari negeri Syam (Syria), namun ada pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari negeri Siam. Dilihat dari nama akhir, lebih cenderung ia berasal dari Syiria, negeri yang banyak melahirkan tokoh-tokoh cerita terkenal.
Syarif Syam memiliki rambut yang sangat panjang hingga menyentuh tanah, oleh karenanya ia lebih sering mengikat rambutnya (gelung). Sehingga ia dikenal sebagai Syekh Magelung (Syekh dengan rambut yang tergelung). Mengapa ia memiliki rambut yang sangat panjang? Karena rambutnya tidak bisa dipotong dengan apa pun dan oleh siapa pun. Rambut itu pertanda adanya keanehan. Seperti cerita-cerita klasik pada umumnya selalu mempunyai hal unik, supranatural jika dipandang dari masa kini. Pada masa lalu, biasanya orang mempunyai ilmu kedigjayaan, kelebihan yang menandai adanya perbedaan dengan yang lain. Syekh Magelung tidak tahu mengapa rambutnya terus memanjang. Ia berkelana dari suatu tempat ke tempat lain untuk mencari orang yang sanggup memotong rambut panjangnya. Jika berhasil, orang yang memotong rambutnya akan diangkatnya sebagai guru. Hingga akhirnya ia tiba di tanah Jawa, tepatnya di Cirebon.
Pada sekitar tahun 1450 di Karang Kendal hidup seorang yang bernama Ki Tarsiman atau Ki Krayunan atau Ki Gede Karang Kendal, terkenaal pula julukan Ki Buyut Selawe, karena mempunyai 25 anak dari istrinya bernama Nyi Buyut Krayunan dikenal juga dengan sebutan Nyi Sekar. Sebenarnya anak mereka berjumlah 24 orang, anak yang satu lagi adalah seekor kerbau berwarna putih yang ikut menyusu pada Nyi Buyut Krayunan, maka diangkatlah kerbau tersebut menjadi anak yang ke-25 dan diberi nama Kebo Bule. Diduga mereka itu lah orang tua angkat Syarif Syam.
Dikisahkan, Syarif Syam datang di pantai Utara Cirebon mencari seorang guru yang pernah ditunjukkan dalam mimpinya, yaitu seorang waliyullah di tatar Cirebon. Atas petunjuk Ki Tarsiman, ayah angkatnya, Syekh Magelung menuju ke suatu daerah. Di situ ia bertemu dengan seorang tua yang sedang memotong rumput. Pemotong rumput itu menyanggupi permintaan Syekh Magelung untuk memotong rambutnya. Dalam waktu sekejap terpotonglah rambutnya. Orang itu tak lain adalah Sunan Gunung Jati. Syarif Syam pun gembira dan menjadi murid Sunan Gunung Jati yang mengubah namanya menjadi Pangeran Soka (asal kata suka). Tempat terpotongnya rambut Syarif Syam diberi nama Karanggetas.
Menurut narasumber, sebelum Sunan Gunung Jati memotong rambut Syekh Magelung, ia meminta Syekh Magelung berikrar bahwa ia harus suka lillah (karena Allah). Karena benar-benar ingin memotong rambutnya yang panjang itu, Syekh Magelung menyetujuinya. Setelah rambutnya terpotong kemudian potongan itu ditanam di sebuah kampung di pinggir sungai dekat Karanggetas. Sungai itu diberi nama Sukalila (suka lillah) dan kampung di pinggir sungai itu bernama Gang Syekh Magelung.
Selesai berguru kepada Sunan Gunung Jati, Pangeran Soka alias Syekh Magelung diberi tugas mengembangkan ajaran Islam di wilayah utara. Ia tinggal di Karang Kendal, Kapetakan, sekitar 19 km sebelah Utara Cirebon hingga wafatnya.
Tersebutlah Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Indramayu yang memiliki sebuah bedug ajaib. Bedug itu akan berbunyi setiap kali masuk waktu shalat, padahal Ki Gede Tersana bukanlah seorang muslim. Syekh Magelung sangat menginginkan bedug tersebut dan ia harus bertarung dengan pemiliknya. Ia berhasil memenangkan pertarungan dan menundukkan Ki Gede Tersana berikut anak buahnya yang berujud makhluk halus pemakan manusia. Makhluk gaib itu meminta syarat melalui Ki Tersana agar ia diberi makan seorang manusia setiap tahunnya. Syekh Magelung tidak menyetujui dan menggantinya dengan seekor kerbau yang dikenal dengan sesajen rujak wuni (daging mentah). Dari kisah ini kemudian tradisi menyerahkan sesajen rujak wuni berlangsung setiap tahun di Karang Kendal.

Nyi Mas Gandasari
Menurut masyarakat di sekitar makam Nyi Mas Gandasari di Panguragan menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari berasal dari Aceh, adik Tubagus Pasei atau Fatahillah, putri dari Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim. Ia diajak serta oelh Ki Ageng Selapandan sejak kecil dan diangkat sebagai anak sepulangnya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Versi lain menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari adalah putri Sultan Hud dari Kesultanan Basem Paseh (berdarah Timur Tengah), merupakan murid di pesantren Islam Putri yang didirikan oleh Ki Ageng Selapandan.
Karena kecantikan dan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, Nyi Mas Gandasari berhasil menipu pangeran dari Rajagaluh yang bernama Prabu Cakraningrat, sebuah negara bawahan kerajaan Hindu Galuh-Pajajaran. Kerajaan itu sedang bertikai dengan Pangeran Cakrabuana dan pengikutnya. Prabu Cakraningrat tertarik menjadikan Nyi Mas Gandasari sebagai istri. Tak segan-segan ia pun diajak berkeliling ke seluruh pelosok isi kerajaan, bahkan sampai ke tempat-tempat yang sangat rahasia. Kesempatan itu kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Cakrabuana, orang tua angkat Nyi Mas Gandasari, untuk menyerang Rajagaluh.
Ki Ageng Selapandan alias Ki Kuwu Cirebon alias Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwngi dari Kerajaan Hindu Pajajaran), berkeinginan agar anak angkatnya itu segera menikah. Setelah meminta nasihat Sunan Gunung Jati, gurunya, keinginan sang ayah disetujui Putri Selapandan (Nyi Mas Gandasari) dengan syarat calon suaminya harus pria yang memiliki ilmu yang melebihi dirinya.
Meskipun telah banyak yang meminangnya, ia tidak bisa menerimanya begitu saja dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan. Oleh karena itu diadakanlah sayembara memilih calon suami. Siapa pun yang sanggup mengalahkan Nyi Mas Gandasari dalam ilmu bela diri maka itulah jodoh Sang Putri. Sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa berupaya menjajal kesaktian Sang Putri. Ki Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki Gede Kapringan, serta pendatang dari negeri Cina, Ki Dampu atau Kyai Jangkar tak satu pun mampu mengalahkannya. Akhirnya, Pangeran Soka memasuki arena sayembara. Meskipun keduanya tampak berimbang, namun karena kelelahan Nyi Mas Gandasari pun menyerah dan berlindung di balik Sunan Gunung Jati. Pangeran Soka masih terus mencoba menyerang Nyi Mas Gandasari dan hampir mengenai kepala Sunan Gunung Jati, namun sebelum tangannyanmenyentuh Sunan Gunung Jati mendadak Pangeran Soka menjadi lemas tak berdaya. Sunan Gunung Jati membantunya berdiri dan menyatakan bahwa tidak ada yang menang atau kalah dalam pertarungan tersebut. Namun demikian, keduanya dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati. Menurut cerita yang dituturkan naraasumber, bahwa perkawinan Syekh Magelung dan Nyi Mas Gandasari adalah perkawinan senasab sehingga mereka tidak pernah serumah dan tidak mempunyai keturunan.

Upacara Munjungan
Selain berjasa dalam syiar Islam di Cirebon dan sekitarnya, Syarif Syam dikenal sebagai tokoh ulama yang mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi. Ia membangun semacam pesanggrahan yang dijadikan sebagai tempat melakukan syiar Islam dan mempunyai banyak pengikut di antaranya Raden Jayalaksana, Ki Wandan, Ki Cempa, Ki Buyut Tersana, Ki Buyut Tambang, dan Ki Buyut Lintang. Di akhir hayatnya ia berpesan agar dimakamkan di Karang Kendal. Sampai sekarang tempat tersebut selalu diziarahi orang dari berbagai daerah dalam upacara Munjungan. Upacara tersebut diadakan satu tahun sekali pada bulan Oktober selama sekitar lima belas hari. Munjungan artinya mengunjungi dan mendoakan Syekh Magelung Sakti karena telah membawa syiar Islam ke dalam kehidupan masyarakat Karang Kendal. Upacara itu diisi berbagai acara seperti tahilan dan pemotongan seekor kerbau untuk dibuat rujak wuni, sesajen yang dipersembahkan kepada pengikut Ki Tersana sebagai pemenuhan janji Syekh Magelung Sakti.
Pada acara Munjungan masyarakat Karang Kendal selalu membuat makanan kesukaan dua murid sekaligus sahabat Syekh Magelung yaitu Ki Wandan dan Ki Cempa berupa iwel-iwel (jajanan pasar yang terbuat dari ketan) berwarna putih, kuning, hitam, dan dodol merah. Warna-warna jajanan pasar itu mengandung makna simbolik sifat dasar manusia yaitu putih berarti mutmainnah (melambangkan pertahanan diri  dari segala kejahatan), kuning berarti radiah (melambangkan dorongan batin yang dirihoi Allah), hitam berarti luamah (melambangkan rasa sesal setelah melakukan kejahatan), dan merah berarti amarah (melambangkan dorongan batin untuk berbuat jahat).
Menurut narasumber, ajaran yang terkandung dari perjuangan Syekh Magelung Sakti berupa kesantrian dan kesatriaan sekarang mengalami degradasi diakibatkan antara lain oleh kemajuan teknologi. Masyarakat Karang Kendal sekarang lebih senang menonton televisi daripada ke masjid, lebih senang minum-minuman daripada belajar mengaji. Meskipun demikian, masih banyak juga yang meneruskan perjuangan Syekh Magelung.
Di situs makam Syekh Magelung Sakti terdapat sumur puser bumi, padasan keramat, depok (semacam pendopo) Karang Kendal, jeramba, kroya, pegagan,dukuh, depok Ki Buyut Tersana, dan pedaleman yang berisi pesekaran, paaseban, serta makam Syekh Magelung Sakti. Istrinya, Nyi Mas Gandasari dimakamkan berjauhan dengan makamnya di desa Panguragan, sehingga Nyi Mas Gandasari dikenal pula sebagai Ratu Panguragan.

Struktur Cerita
Syekh Magelung Sakti adalah sebuah cerita. Ada alur yang runtun, jalinan peristiwa yang saling bertaut satu sama lain. Sejak tokoh merasakan adanya keinginan memotong rambutnya, berkelana mencari guru, bertemu dengan orang tua angkatnya, sampai berguru kepada Sunan Gunung Jati yang dapat memotong rambutnya. Ragam peristiwa yang disertai dengan tokoh merupakan alur sebuah cerita dan ciri utama cerita adalah alur dan tokoh di samping konflik. Ketiga unsur cerita rekaan itu merupakan bagian penting yang menandai hidupnya sebuah cerita.

Religi
Tokoh cerita dalam sastra lama pada umumnya selalu memiliki kelebihan dalam berbagai segi, terutama kesaktian. Syekh Magelung Sakti memiliki kesaktian, yakni pada awalnya rambut yang panjang tidak dapat dipotong dengan alat apa pun bahkan alat akan rusak jika digunakan untuk memotong rambutnya. Tidak ada seorang pun yang mampu memotong rambutnya itu, dalam pikirannya siapa pun yang dapat memotong rambutnya berarti memiliki kesaktian yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dia mencari guru yang ilmunya lebih tinggi. Pesan yang tersirat pada kisah tersebut adalah mencari ilmu merupakan kewajiban setiap umat Islam. Karena dalam Al-Quran pun dinyatakan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu.
Syarif Syam yang berasal dari Syria mencari guru hingga ke tanah Jawa. Pesan cerita ini cukup jelas bahwa mencari ilmu tidak terbatas di negeri sendiri, bisa sampai ke manapun. Rentang waktu dan tempat yang jauh tidak menghalangi Suarif Syam mengembara mencari ilmu yang pada awalnya hanya untuk memotong rambut. Setelah berguru kepada Sunan Gunung Jati, dia menyebarkan ajaran Islam. Apa yang telah diperolehnya diamalkan. Ini gambaran dari segi religi bahwa kewajiban orang breilmu adalah beramal sesuai dengan ilmu yang dimiliki.

Kemasyarakatan
Orang Cirebon mengenal dengan baik nama Syekh Magelung Sakti. Sampai hari ini masyarakat Karang Kendal, tempat makam Syekh Magelung masih dikunjungi orang. Tempat itu dijadikan sebagai ziarah rohani. Upacara tahunan juga dilaksanakan yakni munjungan  yang diisi dengan berbagai acara. Upacara ini menunjukkan adanya rasa hormat kepada orang yang telah berjasa, telah menyebarkan ajaran yang benar yakni ajaran Islam. Masyarakat ingin memelihara rasa hormat ini dengan menyelenggarakan upacara. Perilaku ini menggambarkan bagaimana tumbuhnya unsur religi yang dibalut dengan budaya.
Upacara munjungan berpengaruh juga terhadap perekonomian rakyat pada saat itu, meskipun tidak berlangsung lama. Orang tua kita selalu berperilaku arif, menyatakan maksud tidak harus dengan berterus terang. Mereka sangat menghargai kecerdasan orang lain. Mereka percaya bahwa anak-anaknya mempunyai kemampuan untuk menerjemahkan simbol-simbol yang mengandung pesan.
Apa yang dilakukan  oleh Syekh Magelung Sakti masih dilestarikan sampai sekarang, misalnya makanan. Makanan itu menjadi ciri khas, menjadi budaya yang mengaitkan dengan tempat pembuatannya. Masyarakat tetap mempertahankannya karena dari segi ekonomi cukup menjanjikan. Pada saat tertentu banyak pesanan. Di samping itu, tradisi keahlian membuat kue diturunkan kepada setiap generasi.

Kontekstual Budaya
Jalan Karanggetas menurut cerita merupakan tempat terputusnya rambut Syekh Magelung. Kata getas berarti putus. Sampai sekarang orang Cirebon yang mempunyai niat melaksanakan sesuatu misalnya iring-iringan pengantin tidk akan melewati jalan tersebut karena menurut kepercayaan jodohnya tidak akan lama. Begitu pun orang yang akan mengadakan perjanjian perdagangan menghindari jalan itu karena takut perjanjiannya batal. Belum ada penelitian benar atau tidaknya hal tersebut. Namun demikian, ada hikmah yang tersirat yaitu orang ingin selalu berbuat baik, jodoh ingin langgeng, perjanjian apa pun ingin bertahan lama. Putus itu kurang baik, jadi sebaiknya dihindari

Ucapan Terima Kasih
Kami sampaikan terima kasih kepada tokoh masyarakat desa Karang Kendal Kabupaten Cirebon, Bapak Ansori, kepada sesepuh dan kuncen situs Syekh Magelung Sakti, Bapak H. Anwar. Berkat bantuan beliau, data tentang cerita Syekh Magelung Sakti dapat kami himpun. Tidak lupa pula terima kasihku kepada “the gang” di Pascasarjana UNSWAGATI; Mbak I’a, Mbak Nani, Nok Aesah, dan Neng Dian. Kenangan indah ketika kita memburu data di sela senja yang diguyur hujan deras, sehingga tulisan ini dapat terselesaikan meskipun banyak kekurangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar