Eva fauziah

Muqoddimah

Teropong kalbu; meneropong raga dan jiwa, nun di kedalaman raga kalbu memimpin jiwa. Meneropong kalbu memberi secercah cahaya.

Eva Fauziah

Oase Peradaban

Seorang ibu adalah oase bagi kerontangnya peradaban. Ia bukan sekadar fatamorgana. Ibu, di telapak kakimu kunci surga di hamparkan. Jangan sekali-kali kau tendang jauh karena kunci itu akan hilang selamanya.

taro link gambar di sene
Selamat datang di blog saya, hubungi saya melalui e-mail jika ingin mendapatkan info. Terima kasih, maaf saya hanya ingin berbagi dengan tetap memegang etika penulisan

Rabu, 07 Mei 2025

Sekolah Ramah Anak; Antara Slogan dan Realitas

Sekolah Ramah Anak,

antara Slogan dan Realita

oleh Eva Fauziah, M.Pd.

Sekolah ramah anak adalah program pemerintah yang diatur dalam permen PP dan PPA Nomor 8 Tahun 2014 tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak (SRA)Peraturan ini antara lain menyebutkan bahwa sekolah harus menghindari hukuman korporal yakni memukul, menampar anak dengan tangan atau dengan cambuk, tongkat, ikat pinggang, sepatu, balok kayu, menendang, melempar anak, menggaruk, mencubit, menggigit, menjambak rambut, menarik telinga, memaksa anak untuk tinggal di posisi yang tidak nyaman, dan panas. Selain itu, bullying psikologis (penghinaan, ejekan, meremehkan, mengejek dan menyakiti perasaan anak) dan perpeloncoan oleh orang dewasa atau anak lain termasuk Tindakan yang harus dihindarkan oleh sekolah (pasal 37, huruf a). Para pemangku kepentingan kemudian bergerak untuk mengimplementasikan program SRA dengan berbagai kegiatan. Pada tahun 2016, Bapak Gubernur Jawa Barat waktu itu, Ahmad Heryawan, langsung turun ke sekolah-sekolah dalam rangka mengkampanyekan program SRA, termasuk ke SMK Negeri 1 Kedawung Cirebon. Pertemuan singkat dengan beliau menimbulkan kesan yang mendalam, terutama tentang implementasi SRA.

Slogan-slogan yang mencitrakan sekolah ramah anak, seperti Not BullyingTolak PerundunganSenyum Salam Sapa, dan sebagainya di pasang di tempat-tempat strategis yang dapat dibaca dan dilihat oleh warga sekolah maupun tamu yang datang ke sekolah. Dengan harapan bahwa semua warga sekolah dapat melihat, membaca, memahami, mendukung, dan melaksanakan program SRA yang tersirat dalam slogan-slogan tersebut. Kampanye masif tentang SRA kiranya membuahkan hasil, yang pada akhirnya melenceng dari tujuan sebenarnya. Sebagian besar para guru berada di posisi yang serba salah, menegur peserta didik yang indisipliner dikatakan sebagai perundungan, orang tua tidak terima lalu datang ke sekolah berteriak memaki guru bahkan melakukan pemukulan dan tidak segan untuk hal sepele langsung melaporkan guru ke kepolisian agar diproses seperti kriminal. Padahal, dibicarakan baik-baik secara kekeluargaan dan bijak bisa menghasilkan solusi yang terbaik daripada mengumbar kemaraham secara terbuka. Pada akhirnya, banyak guru memilih posisi aman dengan membiarkan peserta didik semaunya, hal ini tentu bertentangan dengan hati nurani sebagai pendidik. Masih segar dalam ingatan kita peristiwa perundungan yang dilakukan siswa sebuah SMA di Maluku terhadap serorang guru secara beramai-ramai hingga guru tersebut lari menghindar dan menangis. Apakah yang salah dari program ini? Kemungkinan besar adalah adanya ketidaksepahaman antara pihak sekolah dengan pihak orang tua peserta didik memahami program. Saya mengingat pengalaman ketika masih menjadi siswa, saya dimarahi oleh guru karena tidak mengerjakan tugas, kemudian pulang sekolah melapor pada orang tua, justru dimarahi juga oleh orang tua karena tidak patuh kepada guru. Sehingga anak menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah salah. Namun sekarang, justru orang tua melindungi kesalahan anak dan cenderung menyalahkan guru atau pihak sekolah.

Tindak bullying (perundungan) dan perpeloncoan di sekolah, terutama dalam kegiatan ekstrakurikuler, merupakan warisan turun temurun yang sulit dihentikan. Penulis menemukan fakta yang sungguh memprihatinkan tentang hal tersebut. Dalam sebuah acara evaluasi setelah kegiatan selesai, diisi dengan mencari dan menemukan kesalahan adik kelas dengan suara keras dan bentakan, yang dibentak diam menunduk tanpa perlawanan. Acara itu dilaksanakan di kelas paling belakang sehingga tidak terpantau dan dilakukan pada sore hari ketikan jam belajar sudah lama selesai, sekolah sepi, dan sebagian besar guru sudah pulang. Lebih memprihatinkan lagi ketika hal ini dikonfirmasikan kepada pihak kesiswaan, justru salah satu staf mengatakan bahwa beliau pernah dikeroyok pengurus dan demis (alumni) karena dianggap ikut campur dan menghalangi tradisi yang sudah berlangsung turun temurun. Lalu bagaimana? Tentu saja hal tersebut tidak bisa dibiarkan, harus ada pembinaan yang berkesinambungan bahwa program SRA tidak hanya berlaku bagi guru tetapi berlaku bagi seluruh warga sekolah. Melakukan pengawasan kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu komitmen dalam kebijakan SRA (Panduan SRA:16).

Terwujudnya sekolah ramah anak adalah impian kita semua. Mewujudkan lingkungan sekolah yang aman, nyaman, bersih, dan indah bagi semua warga sekolah membutuhkan kesadaran dan dukungan semua pihak. Guru dan peserta didik serta seluruh warga sekolah sama-sama menyadari dan berkomitmen untuk menghindari sejauh-jauhnya tindak perundungan yang merendahkan martabat manusia, siapa pun pelakunya.*** 

                                                                                                              (Talenta Gareulis Jabar 2023)

  


                                Fajar 

 

Bulan luruh di garis cakrawala

Ketika sayap-sayap malaikat merentang

Turun di belantara hati yang tafakur

Dalam sujud-sujud panjang

Melantunkan doa-doa

Membasuh debu yang melekat

 

Gegamlah dunia

Bersama dua rakaat khusu

Syahdu menembus langit  


                              (Talenta Gareulis Jabar 2023)