Eva fauziah

Muqoddimah

Teropong kalbu; meneropong raga dan jiwa, nun di kedalaman raga kalbu memimpin jiwa. Meneropong kalbu memberi secercah cahaya.

Eva Fauziah

Oase Peradaban

Seorang ibu adalah oase bagi kerontangnya peradaban. Ia bukan sekadar fatamorgana. Ibu, di telapak kakimu kunci surga di hamparkan. Jangan sekali-kali kau tendang jauh karena kunci itu akan hilang selamanya.

taro link gambar di sene
Selamat datang di blog saya, hubungi saya melalui e-mail jika ingin mendapatkan info. Terima kasih, maaf saya hanya ingin berbagi dengan tetap memegang etika penulisan

Selasa, 25 September 2012

cerpenku


Rumah Mara
         Rinai gerimis mulai turun mengiringi bedug maghrib. Gelora Wiralodra menjulang diam dalam kegelapan di seberang jalan. Aku tidur-tiduran di sofa. Pusing berdenyut-denyut di kepalaku dan kurasakan tubuhku agak demam. Kulihat Yayah dan Atik sudah selesai melipat mukena yang dipakainya. Kegiatan prajabatan sepanjang tiga hari ini mulai menurunkan daya tahan tubuhku yang sejak awal memang dalam kondisi lelah.
       "Va, kamu tinggal di rumah saja, ya! Biar kami saja yang membeli makanan di Pasar Wetan." Atik menghampiriku dengan prihatin sambil menempelkan tangannya di keningku. Aku cuma mengangguk.
       "Kamu mau dibelikan apa, Va?" Tanya Yayah yang baru ke luar dari kamar sambil membetulkan kerudungnya. 
       "Apa sajalah." Jawabku lemas.
       "Kamu tidak apa-apa ditinggal sendirian, Non!" Tanya Atik dengan cemas.
       "Don't worry. Everything is okay." Jawabku serampangan, mengacungkan dua ibu jari.
       "Tidak takut ada memedi lewat?" Ujar Yayah tiba-tiba memencet hidungku.
       "Oh. please! Don't say that. Aku lagi malas bercanda, ah!" Jawabku agak terkejut.
     "I'm sorry my friend, just kidding! Ok, kami berangkat, ya. Assalamua'laikum!" Mereka buru- buru menjangkau pintu dan dengan cepat menutupnya, ketika melihat aku meraih bantal dan hendak melempar.
    "Wa'alaikum salam." Jawabku dengan sebal. Tak jadi kulemparkan bantal ke arah mereka. Sepeninggalan mereka, aku bingung sendiri.
       Rumah ini cukup besar untuk ditempati bertiga. Agak terpencil dengan rumpun bambu dan sumur tua di belakang rumah. Rumah besar milik Mara, saudaraku. Karena suaminya sedang bertugas ke luar kota, ia mengajakku tinggal di rumahnya selama dua minggu mengikuti kegiatan prajabatan dan kuajak juga kedua temanku tinggal di sini. Lumayanlah daripada membayar ongkos kamar penginapan di asrama haji. Malam ini Mara tidur di rumah orang tuanya, karena besok akan ada acara arisan keluarga.
       Aku merasa dingin dan mulai bosan, untuk mengusir rasa sepi kunyalakan televisi dan menikmati Seputar Indonesia. Tiba-tiba saja aku merasa gelisah dan gerah. Kuintip gelap malam lewat tirai jendela, gerimis sudah lenyap digantikan taburan bintang yang berkedip-kedip mempesona. Aku ingin ke luar menikmati malam, namun rasa haus memaksaku melangkahkan kaki ke dapur. Dapur ini sunyi dan aneh padahal aku sudah biasa berada di dapur bahkan mencuci baju malam-malam bertiga dengan teman-temanku di sumur tua di belakang rumah ini. 
         Aku mulai menuangkan air dari kendi ke dalam gelas, hmm ... pasti segar rasanya. Aku mulai mengangkat gelas untuk minum, namun gerakan tanganku berhenti saat gelas mulai menyentuh bibirku. Aku mendengar suara halus... krieeeet... Spontan pandanganku terarah pada asal suara, ternyata pintu gudang yang tadi aku lewati terbuka pelan dengan tetap menimbulkan bunyi. Seperempat terbuka, tiba-tiba suara itu hilang dan pintu berhenti bergerak. Jantungku berdegup kencang dan udara dingin menyelinap ke tengkukku yang meremang. Aku tegang menanti sebuah kemungkinan. Gelas kupegang erat dengan siaga. Kupanjatkan doa minta perlindungan kepada Allah dengan membaca surat An-Naas dan Al-Falaq. Sedetik ... dua detik ... entah berapa detik aku terpaku dengan nada bahaya berdering di otakku, siapa pun atau apa pun yang muncul akan aku lempar dengan gelas yang masih penuh air ini. Rasanya lama sekali aku menunggu namun tidak terjadi apa pun. 
          Pelan-pelan aku taruh gelas di atas meja sementara pandanganku tak lepas dari pintu yang tetap diam tak bergerak. Rasa penasaranku muncul, dengan hati-hati kuraih sapu yang tersandar tak jauh dari meja dan pelan-pelan menghampiri pintu yang seperempat terbuka itu. Dua jengkal lagi aku akan sampai, tiba-tiba ... blam! Pintu tertutup dengan keras. Sontak aku terkejut, sapu kulempar ke arah pintu dan tanpa pikir panjang kuambil langkah seribu menuju ruang tengah dan berlari membuka pintu serta kubanting sekeras-kerasnya. Aku terengah-engah dan terduduk lemas di beranda. Bertepatan dengan itu, suara becak berhenti di depan pagar dan tampak kedua temanku turun. Aku segera mengatur napas agar terlihat santai. 
         "Kok, kamu di luar? Udara malam tidak baik untuk demam kamu lho." Atik menegurku. Aku berusaha tersenyum dan menggeleng.
         "Suntuk." Jawabku pendek.
         "Eeee... sudah besar masih bandel." Yayah mengulurkan tangan ke arah telingaku.
         "Eit!" Dengan sigap aku berdiri dan memasang kuda-kuda.
         "Ah, sudah... sudah ... bercanda melulu. Ayo masuk" Ujar Atik tidak sabar.
        "Tunggu!" Kataku buru-buru ketika Atik hendak membuka pintu. "Aku duluan." Serobotku memegang handle pintu dan membuka pintu pelan-pelan dengan waspada. Aku tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diingankan atas kedua temanku yang penakutnya bukan main ini. Ternyata aman-aman saja, aku menarik napas lega. Beriringan kami masuk, Atik mengerenyitkan kening dengan heran.
       "Kamu kenapa, Va? Lagakmu seperti detektif kesiangan saja." Ujarnya sambil meneliti dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku hanya mengangkat bahu pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Bagaimanapun aku tidak akan pernah menceritakan apa yang baru saja kualami. Bisa gawat, Si duo penakut itu akan langsung hengkang ke asrama haji dan meninggalkan aku sendirian di rumah besar ini. Ih, sedangkan aku tidak mungkin ikutan mereka pergi tanpa alasan yang jelas pada Mara. Tidak enak rasanya menyepelekan kebaikan Mara yang telah merelakan rumahnya untuk penginapan gratis kami bertiga. Jadi, kutelan saja kisah ini sendiri.
          Sampai kami selesai melaksanakan kegiatan prajabatan, tidak terjadi lagi peristiwa aneh itu. Meskipun aku penasaran bukan main atas kejadian yang menimpaku. Aku sangat ingin bertanya kepada Mara tentang isi gudang itu, tetapi rasanya juga tidak etis. Kuurungkan saja niatku bertanya kepada Mara. Satu hal yang jelas bagiku bahwa Allah menciptakan jin dan manusia semata-mata untuk mengabdi kepada-Nya. Suatu saat nanti aku akan kembali dan memecahkan misteri ini.